Kamis, 30 Oktober 2008

Pemimpin dan Komersialisasi Seks Rakyat

Sebenarnya manusia itu makhluk semacam apa ? aku ingin tahu …. Apa yang membuat manusia berbeda dengan makhluk bernama hewan, iblis, jin, dan malaikat. Malaikat pernah diperintahkan sujud pada adam, tapi iblis ada juga yang berbentuk manusia,bahkan dalam alquran allah pernah menyebut manusia bisa lebih buruk dari hewan. Lalu sebenarnya manusia itu makhluk yang seperti apa ?

Aku berkumpul dengan orang-orang yang membuatku nyaman. Merasa aman dan dicintai. Merasa tentram dan bahagia. Dan perjalanan panjang ini seperti perjalanan sidharta (jika benar-benar ada) atau mungkin seperti perjalanan musa (yang sudah merasa tahu banyak, tapi ternyata banyak tidak tahu). Sepanjang jalan aku terus mendebat dan bertanya, tanpa ada khidir yang memberiku jawaban dan mentor. Aku seperti menyusuri dunia yang berbeda. Padahal jalan kutapak ini masih bernama jawa tengah, kakiku masih berpijak di tanah, masih bertemu dengan realita yang nyata.

Kami berhenti di sebuah jembatan, memasuki jalan setapak di bawahnya menuju sebuah bangunan tua yang nyaris roboh. Di seberang jalan ada sebuaah baliho berikuran besar, bergmbar para caleg dari sebuah partai islam. Aku yakin, mereka adalah ustad dan ustadzah yang tak hanya bisa tilawah, tapi sedang berjuang mentransformasikan keagungan ajaran quran ke dalam realitas yang sebenarnya. Menjadikan bahasa langit turun ke bumi, masuk ke hati para manusianya, ada di hatinya, bahkan tegak dalam system pemerintahannya. Aku tersenyum, menyimpan optimism. Sejenak.

Kami memarkir motor di depan sebuah bangunan yang bertuliskan ‘losmen’ batu batanyanya bahkan sudah mulai berjatuhan. Gentengnya menghitam dan bolong, aku yakin pasti bocor waktu hujan. Lantainya semen jaman colonial yang sudah nyaris tak bisa dibedakan lagi dengan tanah kecuali kepadatannya. Aku masih mengobservasi bangunan tua yang bertuliskan ‘losmen’ itu. Dari luar hanya tampak sebuah pintu, dua buah jendela kayu yang sudah dipalang. Di luar berjajar beberapa becak bewrnaa merah dan sepeda motor. Sepintas tak ada yang menyangka jika ada kehidupan manusia di sana. Selayaknya losmen, ada beberapa kamar berjajar berhadapan. Pintu-pintunya tertutup pintu kau yang kusam dan lapuk. Berderik jika dibuka atau ditutup.

Di samping rumah ada sumur untuk mandi dan mencuci, harus manrik timba di sana dengan tali untuk mendapatkan airnya. Di sebelah sumur ada kamar mandi, setengah pintu, yang jika mandi di sana orang lain yang berjalan tentu dengan sangat jelas bisa melihat bagian atas pusar orang yang mandi. Antar lorong kamar ada jemuran bergelantungan, tak hanya baju tapi pakaian dalam, seprei, sarung dan segala macam kain.

“hari ini tidak ada orang, lagi pada keluar”, begitu aku salah seorang penghuni. Perempuan tengah baya yang sedang mencuci. Kami pun beranjak pulang,

Seorang teman merekam setiap sudut bangunan.

“harga sewanya lima ribu rupiah tiap kali pakai’ begitu penjelasan guide kami

“oooo … murah sekali ya”

“ya … mereka melakukan ML di atas tikar itu”, lanjut sang guide

“mas berapa tarif tiap kali ‘jajan’ di sini ? ”

“rata-rata sepuluh sampai tiga puluh ribu rupiah, harga rakyat ”.

Kami tak bisa mendefiniskan perasaan kami. Tikar rombeng yang tentu saja tak empuk, bahkan sebagian sudah dimakan ngengat dan kutu. Bau kamar-kamar itu seperti percampuran aneh dari urine manusia, kelelawar, tikus, kecoa, bau tanah dan lumut. Membayangkan hubungan macam apa yang bisa dilakukan manusia di tempat itu adalah sebuah gambar hitam bersemut di televisi. Kabur. Lebih tak bisa dibayangkan lagi, jika hubungan (seperti suami istri itu) dilakukan dengan pasangan waria yang sudah berulangkali gagal suntik silicon atau laki-laki yang bau, penuh keringat, daki dan berkulit kasar.

Aku melihat semua fragmen dari luar. Dalam hati sebenarnya sangat bersyukur, tempat itu sedang sepi. Tak ada aktivitas. Yang kuceritakn tentang detail di atas adalah hasil cerita temanku, juga pengamatan dari video yang sempat ia rekam.

“Ayo pulang …. Orangnya nggak ada”, begitu ajak temanku

Tujuan kami sebenarnya untuk menemui seorang PSK yang terkena HIV +, seorang perempuan paruh baya, bisu dan tuli pula. Kepala dinas kesehatan kota menitipkan uang setelah kami menceritakan keadaannya. Wanita berumur lebih dari empat puluh tahun itu masih terus menjalankan aktivitas seksualnya. Begitu keterangan sang guide.

Aku memang ingin segera pulang … saat kami membelokkan motor, seorang lelaki bersepeda motor datang, sepertinya ingin mencari seseorang, tapi sama dengan kami—ia tak berhasil menemui orang yang ia maksud. Dari dalam ruangan, dua orang anak muda keluaar lewat pintu. Hatiku tergores, salah seorang dari mereka masih memakai seragam SMA. Kepalaku bertambah pusing.

Di seberang jalan foto para caleg itu masih tersenyum. Aku berdoa, mudah-mudahan mereka diberi kekuatan oleh Allah untuk menyelesaikan permasalahan umat. Menjadi pemimpin di negeri bernama Indonesia ini pasti berat, sangat berat, mungkin akan sangat panjang hisabnya. Tapi aku juga heran, mengapa banyak yang berminat mengajukan diri, bukan karena diminta partai untuk maju… Aku berdoa untuk diriku, “banyak hal”.

Kepalaku makin pusing. Telingaku mengiang-ngiang kata-kata : “dan tiap-tiap kamu akan dimintai pertanggungjawabnnya … ”

Surakarta, 100 tahun sumpah pemuda (14.12 WIB)

Pemuda dan Kompleksitas Seksualitas

Hari sumpah pemuda. Hari ini aku diajak melihat lebih dekat pemuda Indonesia. Solo hari ini sibuk, di tiap pojok kota memerah. Khari ini sang ibu soan ke solo. Segerombolan orang berseragam merah, partisan sebuah partai politik tumpah ke jalan. Laki-laki perempuan, tua-muda, bahkan anak-anak. Tapi wajah-wajah itu sebagian besar adalah wajah-wajah para pemuda Indonesia. Katanya hari ini akan dipasang 28.000 bendera merah putih. Symbol kebangkitan negeri dan kaum mudanya. Lalu jalan menjadi ramai seketika, motor disetel menderu-deru, tanpa helm, bertiga di atas motor … klakson bersahutan, seperti mengusir para pengguna jalan yang melaju pelan. Dan polisi mengatur perlahan, tak beranjak dari tempatnya. Dan para pengguna jalan pun hanya bisa menggerutu, seolah maklum … pemakluman yang sejak lama. Dan hari ini masih 28 oktober 2008, 100 tahun sumpah pemuda.

Kami berbelok ke kantor GF ATM untuk Surakarta. Berbicara dengan pria setengah baya, coordinator GF Surakarta. Di sana kami dihidangkan angka-angka penderita HIV yang jumlahnya sudah ratusan, mulai dari swasta, pns, mahasiswa sampai ibu rumah tangga. Beberapa diantaranya meninggal, yang lain dalam perawatan atau CST kami menyebutnya tiap tahun jumkahnya tak pernah turun, selalu bertambah kasus baru dan meningkat kurvanya. Baguss kalau dilihat oleh funding, artinya jumlah jangkauan makin baik. Makin banyak kasus terungkap makin banyak program intervensi yang bisa dilakukan, tentu saja bukan intervensi untuk berbuat mereka berhenti melakukan aktivitas seksual berisiko—tapi menganjurkan mereka berperilaku hidup sehat. Kami tiap hari belajar untuk tidak lagi berpikir bahwa “say no to free sex” adalah saran yang baik dikatakan pada komunitas hig risk. Kami diajari tidak menularkan penyakit, selain itu terserah –bukan urusan para petugas kesehatan. Kalimat itu terdengar seperti doktrin. Kami menyekat wilayah—membatasi diri pada kesehatan, lalu yang lain urusan siapa ? urusan privat, itu pilihan pribadi, begitu pendapat seorang dosen. Ya serahkan saja pada para rohaniwan dan pemuka agama, serahkan saja para para da’i. Aku tersenyum getir, da’I mana yang mau turun ke daerah segelap itu ? berbicara lugas dan lantang “jauhilah zina, sesungguhnya zina adalah salah satu dosa yang besar … bertaubatlah”. Tiba-tiba aku teringat nabi luth, aku teringat yusuf ….

Pertanyaan itu seperti mengejek diriku sendiri, mengejek teman-temanku. Mengejek kita yang mengaku beragam dan beriman. Bahkan mungkin para pemuka agama, dai, dan ulama-ulama itu bahkan tidak tahu bahwa pelaku maksiat itu sangat banyyaaak. Dan kita kian permisif … (kita ?). merdeksi kemaksiatan yang besar itu hanya dalam angka-angka, menganggapnya sekedar fenomena, dan bekata “astaghfirullah”. Dadaku sesak, ternyata iman ini masih selemah-lemahnya.

Kami disodorkan kertas …. Kelompok berisiko di Surakarta dan jawa tengah : dan tersebutlah nama-nama itu : pengguna narkoba suntik, pekerja seks komersial—psk, sebuah istilah yang dianggap lebih manusiawi dari pelacur, lalu pelanggan seks komersial, homoseksual dan waria, narapidana, ibu rumah tangga … dan angka akumulasi di table paling bawah itu menunjukkan empat digit saudara … ribuan orang. Bahkan komunitas homoseksual di Semarang yang terdata lebih dari seribu tujuh ratus, ratusan juga jumlahnya di daerah kudus, pati, tegal, purwokerto, cilacap …. Angka di kertas itu, tentu saja adalah manusia; punya kepala, punya badan dan jiwa.

Dan yang membuat kami excited jumlah uang yang dikeluarkan lembaga donor ternyata masyaallah. Lebih dari sembilan digit untuk satu lsm saja. ‘bantuan’ yang aku yakin tak mungkin benar-benaar ikhlas tanpa pamrih apa-apa. Untuk uang sebesar itu, aku sulit membayangkan tanpa ‘misi apa-apa’ selain kemanusiaan. Maklum, aku termasuk orang yang amerikaphobia. Yahudiphobia.

Dalam teori promosi kesehatan kami diajari untuk meyakinkan para stake holder bahwa : tiap orang, tiap pihak punya kepentingan ! kepentingan untuk mencegah HIV, IMS lain dan AIDS ini agar tidak menyebar lebih luas dan dahsyat. Tentu saja, ketidakpedualian akan realitas ini akan membuat bola liar virus itu makin tak terkendali … makin banyak yang terjangkit, makin banyak resiko social yang harus ditanggung, makin banyak cost yang harus dikeluarkan. Para lsm bahkan kpad sendiri jiks bekerjasama dengan funding luar negeri tersebut tentu saja harus mengukuti ‘sub agreement’ yang telah ditentukan oleh funding. Jadi apa yang akan dikerjakan oleh lsm maupun lembaga lain yang diajak bekerjasama itu harus sesuai dengan Mou yang telah dirancang oleh pemberi donor. Begitu juga dengan masalah pelaporan. Wajar jika beda funding beda program, beda dana beda pelaporan, beda segmentasi, beda dukungan. Dan ‘kita’ telah benar-benar sangat terikat dengan lembaga funding. Nyaris sebagian besar sumber keuangan dari funding—bahkan ada lsm yang sengaja didirikan untuk menjadi lembaga yang bisa mencairkan dana funding yang nganggur, selesai kerjasama dengan funding, selesai pengabdian. Dan aku makin pesimis dengan kata pengabdian, ketulusan, kemurnian hati dan rasa social yang tinggi.

Yang menjadi paradox lain adalah, funding internsional itu bisa menjamah hingga tingkat kabupaten secara langsung. Tanpa birokrasi satu pintu yang ruwet, seperti tangan panjang—kalau tak mau disebut panjang tangan : intervensi internasional bisa langsung dilakukan ! dan ini ternyata tentu saja membuat para stakeholder daerah senang … ada yang meringankan tugas mereka.

Ketika bertemu dengan salah satu lsm yang menjangkau para pelacur dan waria, setengah berkelakar mereka berkata “kalau ngomong masalah dana kenapa funding lebih tertarik untuk membiayai komunitas homoseksual ?”

“ya pintar-pintarnya kita melobi lah … teman-teman kita kan banyak juga yang nyumbang, ya tiga ratus empat ratus (ribu) kan banyak juga kalau dikumpulkan ”, begitu jawab sang aktivis komunitas gay.

“hahaa … kalian bisa narik sumbangan ke anggota, lah anggota kami baru bisa makan kalau ‘jualan’ … ”

Hatiku makin tergores. Ketika seks menjadi gaya hidup, yang lain menjadikan seks sebagai cara bertahan hidup. Hatiku makin mencelos …. Kadang ada beda yang sangat tipis antara menolong dan memanfaatkan. Antara melihat peluang dan tantangan.

Kami masih berdiskusi, belum habis rasa heran dan penasaran … bahwa ternyata dunia yang kami temui dibaalik ruang kantor dan kuliah adalah dunia yang tak hanya hitam putih. Ada sekian ribu gradasi warna, campur baur hingg tak jelas batasnya. Dan tiba-tiba aku ingin ke toilet, perutku mual.

kekuatan mimpi, mimpi yang menguatkan


Apakah mimpi itu selalau egois ? apa yang aku inginkaan untuk diriku ?
Mungkin egois, jika ternyata mimpi itu hanya memberi kesenangan sementara bagi diri kita sendiri, tapi menjadi penderitan buat orang-orang di sekitar kita.

Tapi apakah ada mimpi yang membuat kita menjadi makin buruk ? ada, mimpi yang hanya berupa angan-anagn yang panjang. Sepertin hayalan, yang bahkan kita sendiri tak mempercayainya bisa benar-benar terjadi. Mimpi yang tak berjiwa, karena kita tak berusaha untuk terus mewujudkannya. Karena kita terlanjur menganggapnya mustahil.

Mimpiku kini bukan hanya untuk aku bahagia sendiri.
Mimpiku kini adalah ibu. Agar ibu kembali menemukan senyumnya yang lama hilang. Agar ada lagi bahagia yang terpaancar di matanya.

Mimpiku kini adalah ibu, agar ibu bisa berjalan tegak menatap keindahan hidup, karena ada beban yang aku kurangi dari pundaknya. Aku tahu mungkin aku tak punya cukup waktu, karena waktu memaang akan selalu memberi kita hadiah berupa keriput dan akumulasi bilangan-bilangan umur yang makin berkurang.

Aku tahu aku tak punya banyak waktu, karena ada masalah yang jika tak segera diselesaikan akan menjadi ledakan. Melukaimu, melukaiku, melukai kita.

Allah beri aku jalan. …

Part 2
Aku merasa aku ingin menjadi apapun, menjadi siapapun, menjadi dimanapun
Pragmatism hidup dan keterdesakan seringkali memojokkan kita ke suatu sudut. Terkepung daan kita pun berkata
‘apapun yang terjadi, terjaadilah’

Aku tak mau menyerah dalam keterpaksaan
Pasti menyakitkan hidup dalam keterpaksaan, seperti dijajah
Hidupku adalah keputusanku
Meski banyak dari kenyataan yang kita jalani, bukanlah yang kita rencanakan
Tapi kita bisa merencanakan ulang hidup kita, dari kenyataan yang kita hadapi hari ini

Saat aku memutuskan menjadi ‘sesuatu’ yang berbeda dari mimpi sebelumnya, aku bukan menyerah
Hanya berhenti mengumpulkan bekaal perjalanan … yang ternyata masih jauh dan tak lempaang
Saat aku memutuskan ‘berkorban’ menjadi ‘siapapun’ sebenarnya hanya sebuah episode pendek untuk bertahan. Karena kesempatan tak datang berkali-kali.
Berbelok mungkin, akan membuat kita menemukan jalan baru yang lebih indah … menuju tujuan kita semula. Asal di kepala kita : masih memlihara mimpi itu. Masih percaya

tantangan orang dewasa

Menjadi orang dewasa seringkali memang tak mudah. Justru karena ia tak lagi bisa berpikir sebebas anak-anak, berpikir tentaang apa saja, bertanya apapun, melakukan apapun yang ia inginkan. Memang tak lagi mudah karena ia tak lagi bisa menangis spontan, kapan pun ia mau. Menjadi orang dewasa adalah masa di mana kita kadang harus terpaksa tersenyum, saat sedih. Menahan tangis, saat kita ingin tersedu-sedu. Menjadi orang dewasa seringkali tak mudah, Karena ternyata masalah tak selesai hanya dengan menangis. Ketika orang-orang dis amping kita tak mengerubungi penuh cemas, melihat kita bersedih. Karena orang dewasa harus banyak belajar, menyelesaikan masalahnya, sendiri saja.

Menjadi dewasa makin tak mudah, Karena kita merasa sungkan mengespresikan cinta kita dengan mencium lembut. Makin lama kita makin menahan diri untuk secara jujur mengungkapkan emosi kita, tanpa membuat orang lain sakit hati.


Entahlah, saat makin jauh dari masa anak-anak kita jadi makin lupa bagaimana rasanya hal-hal kecil bisa membahagiakan kita. Sepotong permen, sebentuk gambar aneh, atau bisa mandi sendiri. Kita makin bingung dengan makna berhasil, kita makin tak tahu bagaimana caranya bmensyukuri keberhasilan ‘kecil’ sebagai nikmat yang besar. Makin jauh dari masa kanak-kanak, kita makin lupa bagaimana caranya tersenyum tulus, senyum menggemaskan yang membuat orang lain ikut bahagia.

Apa yang sebenarnya terjadi pada orang dewasa … mengapa kita sering membuat sesuatu yang sebenarnya mudah menjadi sulit ? mengapa kita tak lagi menikmati indahnya berusaha, tertaih-tatih, membalikkan badan, merangkak, berdiri, berjalan jatuh bangun hingga akhirnya bisa tegak berjalan. Meski menangis, anak-anak tak pernah berhenti berusaha lagi. Anak-anak bisa begitu menikmati indahnya berusaha, tanpa meraasa tertekan, tanpa terbebani. Menikmati perjuangan dengan kesungguhan, itulah yang harus kita pelajari lagi.

Menjadi orang dewasa seringkali sulit, karena kita nyaris kehilangan rasa penasaran kita, nyaris berhenti untuk menanyakan hal-hal yang sebenarnya tidak kita tahu : ini apa ? untuk apa ? kenapa begitu ? Pahala itu apa ? Emang Tuhan rumahnya dimana ? kita telah merasa tahu, meski kita tidak benaar-benar tahu. Menjadi orang dewasa seringkali sulit, kegairahan pembelaajar itu rasanya menguap perlahan, dan kita pun menahan diri untuk menciptakan maha karya kita. Kita merasa bahwa sampan dari kulit jeruk bali adalah hal yang sepele, kita merasa berhasil membuat pesawat kertasa adalah hal yang bodoh. Dan kita mulai belaajar untuk tidak menghargai ‘hal-hal kecil’, karenaa itu kita kesulitan menghasilkan hal-hal besar.

Mungkin orang dewasa serringkali merasa telah memiliki banyak hal, telah sedemikian berkuasa, telah mengecap banyak asin-manisnya kehidupan; dan merasa tak perlu belajar lebih banyak lagi. Semangat dan kegairahan adalah milik anak muda. Mungkin itu yang ada di pikirannya. “sudahlah tak usah macam-macam, kita kan sudah mulai tua”. Dan orang dewasa membangun sedemikian banyak tembok baru dalam hidupnya. Menjadikan hidupnya kian sempit dan sesak, kehilaangan pemandangan indah yang terhampar di sekitarnya. Dan menjadi bahagia adalah hal yang kian sulit dirasakan.

Apa yang sebenarnya mereka miliki dan perlahan menghilang dari diri kita ?

Tapi menjadi orang dewasa adalah sebuaah kebutuhaan, sebuah kemestian yang tak bisa dielakkan. Kembali menjadi anak-anak adalah sebuah kemuinduran. Terutama jika, ingin begitu mudahnya melepaskan sedemikian banyak tanggungjawab di punggung kita. Karena waktu tak bisa di-undo. Masa kanak-kanak itu adalah sebuah masa yang bernama kenangan. Masa yang tak kembali.

Kita kini, mungkin harus duduk di tepoi taman bermain. Memperhatikan anak-anak kecil bermain, memanjat pohon, berayaun, bahkan bertengkar. Mengobservasi manusia-manusia jujur itu, lalu mengambil sebanyak mungkin hikmah. …

Lelaki itu berzakat

Karena para amil harus proaktif, jemput bola! Karena itulah saya dan teman-teman, sebagai relawan di sebuah lembaga amil zakat nasional, membuka gerai zakat di depan masjid di komplek perkantoran di Semarang. Beberapa orang datang untuk mengambil brosur, yang lainnya hanya melintas.

Saat adzan solat jumat mulai berkumandang, lelaki itu datang ke gerai kami. Ada alasan syar’i bagi kami para perempuan, untuk tidak solat dan puasa Ramadhan, tapi bagi para lelaki ? karena itu kami terheran-heran. Lelaki gagah itu masih asyik menghisap rokoknya. Duduk dengan tenang di dekat gerai kami. Saya memandanginya, baju kotor dan tubuh berdaki, hanya memakai sandal jepit lusuh. Kaos oblongnya yang sudah tak bisa disebut putih, tentu saja mengatakan pada kami bahwa ia bukan pegawai kantor di kompleks ini.

Dan khutbah jumat pun dimulai … tapi lelaki itu tak juga beranjak. “Solat pak ?”. lelaki itu tertawa aneh, seperti menyeringai. saya takut, lelaki-lelaki lain berada di dalam masjid, bahkan loper Koran dan majalah di samping kami juga telah menitipkan barangnya pada kami untuk dijaga. Dan laki-laki aneh itu tak bergeming. Saya dan teman saling berpandangan, takut. Berbagai pikiran buruk muncul di kepala kami.

Laki-laki itu tiba-tiba berdiri, membuang puntung rokoknya, berjalan menghampiri kami. “tulis mbak, di situ …”, ujarnya tiba-tiba sambil menunjuk pada kuintansi pembayaran zakat yang kupegang. “saya mau bayar zakat … ”.

“mau zakat pak ? tapi Bapak belum wajib zakat … ”, ujarku hati-hati

Tidak ada komentar … lelaki itu justru merogoh saku celananya, mengeluarkan uang ribuan dan receh yang ada di sana.

“nih bayar … tulis ya …”

Saya memandang rekan, meminta pertimbangan; dia hanya mengangguk-angguk, antara setuju dan takut. Saya mulai menuliskan kuitansi … meminta lelaki aneh itu menyebutkan namanya, ia berpikir seolah-olah lupa. Ketika saya Tanya alamatnya, ia hanya menjawab … “terserah mbak aja”. Saya mengulangi pertanyaan itu dengan pertanyaan tertutup, “ tinggal di semarang mana pak ?”. “ya di semarang aja …”, jawabnya.

Lelaki aneh itu mengeluarkan uang seribu tiga ratus rupiah dari kantongnya, memberikannya pada saya.

Dan saya pun menuliskannya, infaq : Rp. 1.300,00. (seribu tiga ratus rupiah). Saya memintanya tanda-tangan, tindakan yang belakangan saya sadari sebagai sebuah tindakan aneh. Dan lelaki itu pun menuliskan angka loo di kolom tandatangan. Saya heran dan mengulangi permintaan saya, “tanda-tangan di sini pak”, tangan saya menunjuk kolom tandantangan. “iya itu tanda tangan saya mbak”, ujarnya menyakinkan saya. Saya tersenyum. Memberikan kuitansi form-1 padanya. Lelaki itu mengucapkan terimakasih, tersenyum-senyum dan mengibas-ngibaskan kuitansinya, lalu pergi begitu saja.

Saya masih berdiri mematung. Di dalam ruangan, adzan berkumandang.

Saya lalu teringat beberapa ucapan para calon muzakki lewat telemarketing saat kami menawarkan jemput zakat : “aduhh … nanti kalau saya setor juga ke lembaga mbak, ndak zakat yang saya kasih tahun ini kebanyakan”. Dan saya pun beristighfar dalam hati. “ya urusan saya dong saya mau zakat apa nggak”, jawab yang lain. Tapi ada juga yang dengan sangat bahagia karena merasa diingatkan, “ya besok saya transfer ya mbak, tolong laporannya disusulkan …”, sangat mudah. Ya, karena hati manusia berbeda-beda.

Hari ini Allah menegur saya, menegur kita, dengan seorang lelaki aneh yang setengah waras, yang dengan sumringah mendatangai amil zakat, menyucikan hartanya dengan infaq. Dan saatnya kita bertanya pada diri kita …

Allah Aku Minta ....

Allah sebenarnya tanpa kukatakan, Engkau tahu apa yang aku rasakan. Engkau Mengerti apa yang aku inginkan. Tapi aku tetap perlu berdoa, meminta, karena Engkau pernah berkata bahwa Engkau senang mendengar suara hambaMu saat memohon padaMu. Aku harus terus meminta padaMu ya Allah, agar kesombongan dalam diri tak semakin mengeras. Menegaskan diri bahwa aku hanya seorang hamba, Yang meski sering mencoba tak menangis, tapi aku Rapuh luar biasa.

Allah ... Engkau Tahu bahwa akan selalu ada kesulitan, jika Engkau tak memudahkan. Dan Tak ada kebahagian di Jiwa, Jika Engkau tak menganugerahkannya... Allah Yang Maha Mendengar ... Allah Yang Maha Tahu ... Allah Yang Maha Kuasa ... Engkau boleh memberikan ujian apapun padaKu karena Engkau memang punya Hak untuk itu. Tapi aku minta, Jadikan Aku Ridha ... hingga dalam keadaan sesulit apapun aku masih bisa terus berhusnudzon KepadaMu. Tak Sampai mengumpatMu, Tak sampai membenciMu, Tak sampai Menjauh dariMu. Engkau Maha Suci dari berbuat Dzolim dan Aniaya. Aku minta kepadamu kelapangdaan untuk ikhlas ... hingga samudranya membersihkan kotornya jiwaku dari prasangka. Sulit Ya Rabb, karena Itu aku minta padamu : Luaskan Jiwa dengan Ikhlas dan baiksangka.

Ya Allah ... katanya Dunia ini penuh warna: di sana bukan hanya ada orang baik, tapi juga jahat dan dengki, bukan hanya ada tawa tapi juga kepedihan dan kesakitan, keputusasaan dan makar durhaka. ya Allah, Katanya dunia itu luas, bulat dan selalu berputar ... maka aku takkan selalu di atas, tapi di bawah, di samping, tak hanya berpijak, terlempar kadang. Terhempas dan Jatuh. sunnatullah Gravitasi.

Kemanapun kaki ini akan melangkah, dengan siapapun aku berjalan, dan dalam situasi apapun aku berada ... aku minta padaMu : " jangan biarkan aku sendiri saja". jangan serahkan aku pada kebodohan dan Hawa Nafsu Jiwa. Aku ini tergesa-gesa, sering lupa, ceroboh dan bakhil. Allah Jika semua ruang dan waktu adalah milikMu, maka aku akan bersedia : berada di manapun, dalam kondisi apapun. Asal Masih dalam lindunganMu, masih dalam naungan CintaMu. Maka Ajari aku cara agar engkau sudi mencintaiku, terus bersamaku, tak meninggalkanku. Ajari aku rela meninggalkan apa saja, siapa saja asal aku bisa dekat denganMu. Ajari aku berani bertemu dengan siapa saja, berbuat apa saja .... asal Engkau RIdha padaKu. Karena aku yakin keridhaanMu membawaku pada keluasan bahagia, kemahasemestaan cinta, keluarbiasaan bahagia.

Aku tahu, Engkau sudah mengabarkannya : Bahwa akulah yang paling bertanggung jawab terhadap diriku. bahwa aku yang akan menuai segala kebaikan dan keburukanku. Bahwa semua akan diganjar setimpal dengan apa yang telah dilakukan. Maka semestinya aku tak perlu menunggu inisiatif orang lain, kambing hitam, atau peran pengganti untuk lakonku sendiri. Aku tahu Ya Allah, tapi seringkali berat untuk melakukan apa yang sudah kita tahu. Pada banyak hal, aku seringkali merasa pengecut. Rapuh. lemah. Bimbang dan Mundur.

Karena itu Ya Rabb, kekuatan yang membolak-balikkan hati. aku minta KepadaMu. tetapkanlah hatiku dalam Iman yang selalu Hidup, kokoh dan Jujur. Berikan Aku kekuatan aqidah, kehusyukan dalam ibadah. ya Allah aku minta pada Mu ilmu, mengobati kebodohanku, meluruskan bengkoku, memandu jalanku. Aku minta padamu Furqon, kemampuan membedakan yang benar dan salah, keluar dari yang meragukan, kembali dari kesesatan pada HIdayah.
Aku minta KepadaMu keberanian untuk memutuskan ,mengikuti kata hati yang benar. Aku minta KepadaMu diberi kesabaran dalam berjuang. Dibukakan jalan-jalan kemudahan. Dihujankan keberkahan. Aku minta KepadaMu keberanian mengakui kesalahan, kelapangan memafkan, kejujuran dalam bersyukur. Dekatkan aku pada apa yang membuat aku dekat KepadaMu. Jauhkan aku dari apa Yang membuat aku jauh dariMu. Aku minta padamu agar tidak dijadikan jenuh meminta… Aku meminta padaMu agar tak bosan berusaha, Hingga ku bertemu denganMu dalam husnul khatimah.