Kamis, 30 Oktober 2008

Lelaki itu berzakat

Karena para amil harus proaktif, jemput bola! Karena itulah saya dan teman-teman, sebagai relawan di sebuah lembaga amil zakat nasional, membuka gerai zakat di depan masjid di komplek perkantoran di Semarang. Beberapa orang datang untuk mengambil brosur, yang lainnya hanya melintas.

Saat adzan solat jumat mulai berkumandang, lelaki itu datang ke gerai kami. Ada alasan syar’i bagi kami para perempuan, untuk tidak solat dan puasa Ramadhan, tapi bagi para lelaki ? karena itu kami terheran-heran. Lelaki gagah itu masih asyik menghisap rokoknya. Duduk dengan tenang di dekat gerai kami. Saya memandanginya, baju kotor dan tubuh berdaki, hanya memakai sandal jepit lusuh. Kaos oblongnya yang sudah tak bisa disebut putih, tentu saja mengatakan pada kami bahwa ia bukan pegawai kantor di kompleks ini.

Dan khutbah jumat pun dimulai … tapi lelaki itu tak juga beranjak. “Solat pak ?”. lelaki itu tertawa aneh, seperti menyeringai. saya takut, lelaki-lelaki lain berada di dalam masjid, bahkan loper Koran dan majalah di samping kami juga telah menitipkan barangnya pada kami untuk dijaga. Dan laki-laki aneh itu tak bergeming. Saya dan teman saling berpandangan, takut. Berbagai pikiran buruk muncul di kepala kami.

Laki-laki itu tiba-tiba berdiri, membuang puntung rokoknya, berjalan menghampiri kami. “tulis mbak, di situ …”, ujarnya tiba-tiba sambil menunjuk pada kuintansi pembayaran zakat yang kupegang. “saya mau bayar zakat … ”.

“mau zakat pak ? tapi Bapak belum wajib zakat … ”, ujarku hati-hati

Tidak ada komentar … lelaki itu justru merogoh saku celananya, mengeluarkan uang ribuan dan receh yang ada di sana.

“nih bayar … tulis ya …”

Saya memandang rekan, meminta pertimbangan; dia hanya mengangguk-angguk, antara setuju dan takut. Saya mulai menuliskan kuitansi … meminta lelaki aneh itu menyebutkan namanya, ia berpikir seolah-olah lupa. Ketika saya Tanya alamatnya, ia hanya menjawab … “terserah mbak aja”. Saya mengulangi pertanyaan itu dengan pertanyaan tertutup, “ tinggal di semarang mana pak ?”. “ya di semarang aja …”, jawabnya.

Lelaki aneh itu mengeluarkan uang seribu tiga ratus rupiah dari kantongnya, memberikannya pada saya.

Dan saya pun menuliskannya, infaq : Rp. 1.300,00. (seribu tiga ratus rupiah). Saya memintanya tanda-tangan, tindakan yang belakangan saya sadari sebagai sebuah tindakan aneh. Dan lelaki itu pun menuliskan angka loo di kolom tandatangan. Saya heran dan mengulangi permintaan saya, “tanda-tangan di sini pak”, tangan saya menunjuk kolom tandantangan. “iya itu tanda tangan saya mbak”, ujarnya menyakinkan saya. Saya tersenyum. Memberikan kuitansi form-1 padanya. Lelaki itu mengucapkan terimakasih, tersenyum-senyum dan mengibas-ngibaskan kuitansinya, lalu pergi begitu saja.

Saya masih berdiri mematung. Di dalam ruangan, adzan berkumandang.

Saya lalu teringat beberapa ucapan para calon muzakki lewat telemarketing saat kami menawarkan jemput zakat : “aduhh … nanti kalau saya setor juga ke lembaga mbak, ndak zakat yang saya kasih tahun ini kebanyakan”. Dan saya pun beristighfar dalam hati. “ya urusan saya dong saya mau zakat apa nggak”, jawab yang lain. Tapi ada juga yang dengan sangat bahagia karena merasa diingatkan, “ya besok saya transfer ya mbak, tolong laporannya disusulkan …”, sangat mudah. Ya, karena hati manusia berbeda-beda.

Hari ini Allah menegur saya, menegur kita, dengan seorang lelaki aneh yang setengah waras, yang dengan sumringah mendatangai amil zakat, menyucikan hartanya dengan infaq. Dan saatnya kita bertanya pada diri kita …

Tidak ada komentar: