Selasa, 02 September 2008

kado terindah untuk orang tua kita


Setelah muhasabah, kami pasti teringat ibu. Terisak dalam tangis yang dalam. Sesak karena merasa tak berdaya, tak cukup punya hujjah untuk berkata “Ya Allah kami adalah anak-anak yang berbakti pada orang tua kami”.

Jika berbakti dikukur dengan waktu, maka kami adalah orang-orang yang kalah. Lima tahun pertama dalam hidup, kami adalah makhluk kecil yang sangat merepotkan bahkan mengesalkan. Bahkan tak terpikir dalam kepala kami (mungkin) kata “berbakti” apalagi merealisasikannya. Masa bersekolah selama delapan tahun kemudian pun kami masih menjadi anak yang merepotkan. Membebani kepala-kepala orang tua kami dengan biaya sekolah yang luar biasa, nilai-nilai pelajaran yang membuat was-was, dan kenakalan kecil yang membuat orang tua kami marah. Tapi mungkin masa-masa inilah yang paling berkesan, kelucuan dan kepolosan kami mungkin akan jadi penyejuk hati orangtua, kadang-kadang—tapi itu pun kemungkinan besar kami lakukan tanpa sengaja. Tanpa niat untuk berbakti dan membalas jasa orang tua. Saat beranjak remaja, saat hormon dalam tubuh kami mulai matang, kami belajar memisahkan diri. Mencoba melepas ikatan-ikatan yang membuat kami dianggap manja dan kekanak-kanakan. Mulai mengurangi intensitas kami di rumah, menjelajah dunia yang aneh di luar rumah. Kami mencari-cari, mengorek-ngorek luasnya warna-warni kehidupan. Kami mulai berbeda pendapat, membantah bahkan memberontak pada aturan dan perintah, hatta datangnya dari orang dewasa yang kami panggil Bapak dan Ibu.kami makin lupa makna berbakti apalagi mengabdi.
Saat masa remaja kian panjang, mendekati masa dewasa. Pergi makin jauh dari orang tua, puluhan, ratusan, bahkan ribuan kilometer jauhnya terpisah. Atas alasan kuliah atau bekerja. Dan waktu kita pun kian menyempit untuk membersamai orang tua, berada dekat mereka. Menyuguhkan teh hangat di pagi hari, memijat mereka saat lelah, mendengarkan cerita mereka, menjaga mereka saat sakit.

Hati makin nelangsa, justru ketika kesadaran pentingnya berbakti itu kian menguat. Mengukur ketidakmungkinan kembali mendekat secara fisik, jarak dan waktu sudah sedemikian jauhnya. Rasanya begitu sedih, khawatir tak cukup punya waktu untuk berbakti. Makin cemas memikirkan kemungkinan bahwa, ketika seorang anak bernajak dewasa, maka ia akan bekerja, menikah. Barangkali tinggal di tempat yang makin jauh, bersama suami dan anak-anaknya. Saat ijab-qabul dilakukan, saat itu juga ada pergeseran peran dan ketaatan. Setelah Allah dan Rasulnya, maka Suami bagi istri, mertua bagi menantu. Lalu tampaknya waktu kian sempit dan kesempatan kian terbatas untuk berbakti pada orang tua. Tiba-tiba aku makin takut.
“Lalu bagaimana caranya berbakti dalam keterpisahan fisik yang jauh ?”. “perjalanan kita belum selesai … jika kau kembali justru akan membuat orangtuamu sedih” , begitu nasihat seorang teman.
“Nin, bukankah kau sering berdoa … Rabbighfirli waliwalidayya warhamhuma kamaa Rabbayani shoghiroo ?” aku mengangguk, mengiyakan. “pada siapa kamu ajukan doa itu?” Tanya temanku kemudian. “pada siapa kamu berharap doa itu dikabulkan? ”
“Allah … Allah”, Jawabku sambil menangis.
“Kita berdoa, meminta pada zat yang Maha Kuasa, yang memiliki segala kekuatan dan kasih sayang … Kita telah menitipkan orang tua kita pada Allah ”
Aku terdiam
“Siapa yang lebih amanah dan lebih baik dari Allah untuk menjaga dan memelihara orang tua kita? “

Aku masih terdiam terisak. Menyadari bahwa orang tua kita butuh lebih dari sekedar doa. Dan kita pun butuh dari sekedar ‘anak biasa’ agar Allah mengabulkan doa kita. Kita butuh menjadi anak yang soleh, butuh menjadi anak yang berbuat kebaikan, butuh menjadi anak yang sungguh-sungguh menuntut ilmu dan bekerja. Agar Allah mengabulkan doa kita untuk orang tua.

Dengan naïf aku pun menghitung … biaya makan, sekolah, baju dan perabotan, transportasi dan rekreasi, rumah tempat berteduh, makan dan minum dan segala biaya hidup sejak statusku tercatat sebagai anak. Ada bilangan ratusan juta sekian-sekian, jumlahnya. Yah … jika hubungan orang tua-anak kita hitung dengan paradigma kapitalis, seperti penjual-pembeli. Maka minimal kita harus ‘mengganti’ ratusan juta sebagai ganti materiil. Mengganti yang materiil saja, barangkali sangat sulit. Ketika seorang anak mulai bekerja, maka penghasilannya akan lebih banyak untuk dirinya, kepentingannya, mungkin menabung untuk biaya menikah. Dan waktu berpenghasilan pribadi itu pun biasanya sempit. Setelah cukup mapan, sebagian besar berpikir untuk menikah, punya keluarga sendiri. Maka penghasilannya untuk mencukupi istri dan anak-anaknya. Orang tua kadang hanya ‘dihadiahi’ apa yang tersisa dari pengeluaran utama. Maka aku berkesimpulan : ternyata mengganti pengorbanan yang berupa materiil saja kita tidak cukup mampu. Apalagi jika kita belum bekerja, apalagi jika kekkikiran dan keegoisan diri masih luarbiasa melekat—mengalahkan arti pengabdian. Yah, aku baru mengerti arti pepatah “kasih orang tua sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah”.

Lalu cinta, kasih sayang, pengorbanan, kesabaran, ketulusan, ketegaran, keteladan, kepercayaan, kejujuran dan keihlasan … harus kita ganti dengan apa ? jawaban sederhana adalah : dengan hal yang sama. Tiba-tiba aku meragukan diriku sendiri, meragukan bahwa aku mampu memberi seluas cinta, sebesar pengorbanan, cinta dan kesabaran orang tua kami. Aku ragu, tak percaya bahwa usaha kita berbakti bisa sebanding dengan apa yang telah mereka beri. Kepalaku makin pusing. Tiba-tiba kata “berbakti” menjadi utopia, rasa malu meluap menyesakkan dada. Ternyata kita bukan siapa-siapa. Saat hati yang lain bersyukur atas karunia orang tua yang sangat indah, hati yang lain mencelos, khawatir dan takut … mungkin tak pernah bisa sempurna usaha kita ‘membalas’ kebaikan orang tua kita.
“lalu apa balasan yang mendekati sama dalam berbakti pada orang tua ?”
“Surga”, jawab temanku singkat.

Dadaku tiba-tiba gemuruh. Hadiah apa yang lebih baik dari surga ? aku menangis. Surga, usaha yang luar biasa untuk mendapatkannya. Apalagi menghadiahkannya untuk orang tua kita, bukti cinta yang nyata.

Temanku tersenyum, aku juga tersenyum. Bukan saatnya menangisi ketidakberdayaan dan menyerah. Tapi bangkit dan berusaha, hadiah istimewa itu butuh perjuangan luar biasa agar kelak kita bisa menghadiahkannya untuk orang tua tercinta.
Dalam jauh dan dekat kita tetap bisa berbakti, selama kita tetap berusaha menjadi orang baik dan berbuat kebaikan. Berbakti dengan cara membuat mereka ridha dan dengan itu Allah menjadi Ridha pada kita, mengabulkan doa kita, terutama agar Allah menyempurnakan kebaikan untuk mereka, menjaga mereka.
Dalam jauh kita bisa berbakti. Menggunakan potensi diri (hasil didikan mereka) untuk sebanyak mungkin amal kebaikan dan memberi manfaat bagi sebanyak mungkin orang. Pahala kebaikan itu akan mengalir pada mereka. Menjadi hujjah mereka di hadapan Allah kelak. Bahwa mereka telah dengan sangat amanah, mendidik kita sebagai titipan-Nya.
Dalam jauh kita bisa berbakti. Membelanjakan harta titipan orang tua pada kita, untuk sebanyak mungkin kemaslahatan di jalan Allah. Bukan untuk berfoya-foya, tabdzir apalagi maksiat, pahala itu akan mengalir untuk mereka. Insyaallah.

Dalam jauh kita bisa berbakti, meneruskan kebaikan orang tua, menyambung silaturahim, menjaga nama baik dan kehormatan mereka, memuliakan keluarga. Mendoakan mereka dan orang-orang yang mereka cintai.
Kita bisa berbakti … jika kita mencari hidayah, Allah memberi kita hidayah. Membuat kita mengerti makna berbakti, menunjukkan jalan untuk berbakti …

Tiba-tiba aku jadi rindu …
dan kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya hingga tiga puluh bulan, sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya empat puluh tahun dia berdoa ”ya Tuhan-ku berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau Ridhai dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sungguh Aku bertaubat kepada Engkau, dan sungguh aku termasuk orang-orang yang muslim” (Al-Ahqaf 15)
(bunda ze, syukron atas percakapan yang begitu berkesan itu)