Selasa, 27 Mei 2008

ada surga di rumah kita

Ada Surga di Rumah kita

neen_Khaleeda

[21.48 pm.230508]

“Aku ingin pulang … “ , barangkali kata ini sering kita ucapkan saat akhir bulan, ketika uang sudah kian menipis di tangan. Atau saat ujian sidang hampir tiba, saat ada masalah berat yang butuh dipecahkan bersama, atau sekedar kangen. Maka pulang lebih dari sekedar bertemu orang tua. Karena itu kadang, kita tak selalu butuh alasan rasional untuk pulang.

Pulang adalah melabuhkan rindu yang menggumpal di dada, mengurai sesak yang tertahan lama. Pulang adalah senyum yang bertemu mata. Lalu pecah jadi tangis. Kita menemui orang tua kita, telah bertambah keriput dan kian tak muda, setelah kita pulang untuk yang kesekian kalinya. Bahkan tanpa berkata apa-apa, pulang cukup menjadi pengobat hati. Melihat adik kita telah tumbuh begitu cepatnya.

Maka bagi saya, perjalanan pulang selalu seperti sebuah jelajah, mengumpulkan mozaik yang terserak di setapak ruang dan waktu. Ada banyak adegan yang muncul di sepanjang pohon-pohon yang berjejer. Berkata bahwa “ setiap kali melangkah ke depan, ada masa lalu yang kita tinggalkan, ada orang-orang yang menunggu kita’. “setiap kali melaju ke depan, kita sedang melangkah ke masa yang penuh misteri, ada orang lain yang menunggu kita”. Dan saat kita tiba di rumah, membuka pintu … memeluk dan mencium keluarga tercinta, dan mereka pun akan bertanya?”piye kabarmu nduk?”: Pertanyaan sederhana – yang sebenarnya dalam maknanya: telah menjadi orang seperti apa kita kini sekarang? Apa yang berubah dari diri kita? Lalu apa yang akan kita ceritakan tentang diri kita?

Rumah kita ….

A Home is not (only) a House.

Bayangkanlah pintu rumah kita. Sebentuk segiempat sederhana. Tapi cobalah kita lihat sekali lagi. Seandainya pintu segi empat itu bisa bercerita, maka kita akan mendapat laporan yang cukup lengkap tentang perubahan diri kita. Lihatlah sisi bagian belakangnya, sisi yang berada di dalam rumah. Saksi atas apa saja yang kita perbuat selama di dalam rumah. Saat kita menjadi ‘seseorang’. Lalu kita pun membuka engselnya, mendorongnya dan berkata ‘aku pergi’. Brakk.

Pintu itu menghempas tergesa-gesa. ‘seseorang’ tadi membantingnya terlalu keras, tanpa salam dan tergesa-gesa dan pergi sambil berlari. Pergi menjelajah banyak tempat, mengikuti banyak kejadian, bertemu banyak orang, merasakan biru, kuning, merah, hitamnya perasaan. Campur aduk. Satu menit, setengah jam, lima jam, kadang sampai matahari berganti bulan. Kita belum membuka lagi pintu itu. Buku yang kita baca, orang yang kita temui, aktivitas yang kita ikuti, kejadian yang kita tonton, berita yang kita dengar, cacian yang kita dapatkan, nasihat yang menyentuh hati, semua yang tak dilihat oleh pintu bagian dalam. Telah mewarnai ‘seseorang’ yang tadi, menjadi ‘orang lain’. Ada yang mewarnai hatinya, pikirannya, ada yang mewarnai emosinya, caranya merespon, sikapnya bahkan perbuatannya. Pintu bagian dalam tak tahu apa yang terjadi di luar rumah. Pintu itu juga sering tak tahu, bahwa dunia yang kita jumpai di luar rumah adalah dunia yang kian tak ramah, kian sesak, kian keras dan tak berperasaan. Dan orang yang keluar lewat pintu itu harus menghadapinya dari hari-ke hari. Pintu itu hanya tahu : bahwa ketika ‘seseorang’ yang membuka pintu bagian dalam tadi telah menjadi ‘orang yang berbeda’. Kadang ‘sesorang’ itu tertawa ketika pergi, menangis sembab ketika pulang. Begitu wangi saat membuka pintu untuk keluar, bau dan lesu saat membuka pintu untuk masuk. Tanpa pamit ketika pergi, santun bersalam dan tersenyum ketika pulang.

Ahh, coba lihatlah lagi sekeliling rumah kita. Ada banyak saksi atas kejadian yang seringkali secara tak sadar kita lupakan. Cat yang mengelupas, sarang laba-laba, kaca yang mulai suram : semua ingin berkata. Bahwa ada akumulasi waktu yang lama berlalu, dan kita ternyata tak pernah bisa hidup sendirian saja. Kita ternyata tak bisa hanya sibuk dengan diri kita sendiri saja. Bahwa selain diri kita, ada orang lain-ada sesuatu yang lain. Yang menunggu kita di rumah. Yang mengiringkan doanya saat kita pergi. Yang merapihkan rumah kita, membuat kita merasa nyaman saat pulang. Ada orang yang akan panik ketika mendapat telepon bahwa kita mengalami kecelakaan, orang-orang yang juga butuh perhatian dan tanggungjawab kita. Tapi kadang kita terlalu sibuk untuk memahami : Bahwa kita tak pernah sendiri.

Saat kita merasa sedang tak dirumah

Tiba-tiba saja kita membuat demarkasi yang begitu tegas : ini rumah, ini kos, ini wisma, ini hotel, ini terminal. Apa bedanya bangunan itu? Semuanya sama-sama tempat transit. Jangka waktu dan cara pembayarannya saja yang berbeda.Lalu apa yang memuat kita merasa ‘tidak betah’, merasa tidak ‘homey’meski di rumah kita sendiri? Jawabannya barangkali ada di kepala kita … persepsi kita tentang tempat tinggal kita sekarang. Penilaian yang membuat kita “tidak ikut merasa memiliki’ hingga kita pun merasa ‘tidak perlu bertanggungjawab’ atas apa-apa yang terjadi di dalamnya. Merasa tak perlu juga untuk peduli. Meski sampah menumpuk dan bau, lantai berdebu, lampu rusak. “toh kita sudah membayar, jadi biarkan orang lain yang mengurusnya”.Dan kita pun membatasi kehidupan kita dalam sekat-sekat tembok. Ini urusanku. Itu urusanmu. Maka kita pun kehilangan sensivitas. Saat penghuni lain sakit, lembur mengejar deadline TA, pulang larut, atau ketika kita mendengar tangis tertahan dari kamar sebelah …”urusanku sendiri sudah banyak, ngapain repot-repot ngurus orang lain?”. Maka meski kita telah (atau akan tinggal) setidak-tidaknya empat tahun di Tembalang ini, kita tidak pernah merasa ‘tinggal di rumah’. Kita numpang. Nge-kos. Ngontrak. Dan dalam pikiran kita: itu bukan rumah (home) saya. Maka ketika pikiran ini kian lama mengendam, saat yang sama sebenarnya, kita sedang dengan sadar : melakukan abrasi, pengikisan terhadap rasa kemanusiaan kita. Membangun lapaisan tebal di atas hati. Lama-lama mengeras. Dan kita kian jadi orang yang berbeda. Orang yang makin tak berperasaan.

Lagi-lagi, nilai rasa itu ada di kepala kita. Rasa rindu, perasaan betah, nyaman …. Bermula dari kepala kita. Persepsi yang akan membawa kita pada kesadaran, lalu komitmen, tanggungjawab, lalu cinta.

Lalu apakah tempat tinggal kita sekarang ini, telah menjadi rumah (home) bagi kita?

Maka ingatlah rumah kita …

Ada siapa saja di sana. Rumah yang membuat rindu. Rumah yang membuat kita memiliki energy baru saat berada di dalamnya. Bersemangat ketika pergi dari pintunya. Makin berilmu, makin baik. Ketika memasuki kemabali pintunya. Rumah yang bukan hanya menyediakan atap yang kokoh untuk berteduh dari hujan, tapi juga hati-hati yang lapang untuk menerima kita; sebagai manusia. Maka ingatlah kembali, bagian apa dari rumah itu yang membuat kita rindu.

Kasurnya, taman rindangnya, lantainya yang wangi, angin semilir yang mengalir dari jendelanya ….

Senyum penghuninya, perhatian tulus saat sakit, mata hangat saudara, bahu tuk menangis

Buku-buku yang mencerahkan, nasyid pagi yang menyemangati, ketukan lembut untuk qiyamulail, mading yang penuh nasihat , teguran yang indah saat lalai

Cucian yang telah terlipat rapi, meski baru sadar bahwa ternyata tadi sore hujan dan kita masih di jalan.

Lalu apa yang membuat rumah kita begitu ‘hidup dan menghidupkan’. Ternyata ….

Atapnya iman , Dindingnya ukhuwah , Tiang-tiangnya nasihat ,Lantainya fastabiqul khairat, jendelanya ilmu.

Itulah bahan baku rumah surga kita di dunia. Pertanyaannya adalah; sudahkan kita membangun rumah kita di atas bahan baku itu? Jika belum. Maka sekedar membayangkan hadirnya surga dunia itu saja, rasanya terlalu tinggi bagi kita. Karena realitas rumah kita adalah : sikap saling menyalahkan, iqob/hukuman yang tak mencerahkan, wajah-wajah sibuk dan lelah—yang telah lama lupa, bagaimana caranya tersenyum, apalagi berempati. Haha-hihi tak lagi membahagiakan, garing. Gossip yang tak pernah menyejukkan adalah irama rumah kita. Dan jika realitas rumah kita adalah kata-kata ini : jorok, berantakan, bau, kusam. Lalu bolehkan kita berharap, sekedar memikirkan ‘bahwa rumahku (bisa) menjadi surgaku?’. Maka pulang ke rumah, justru menjadi sesuatu yang paling kita hindari. Lalu dimana kah rumah surge itu? Siapakah penghuninya?

Siapa penghuni rumah surga itu?

Ternyata bukan para malaikat. Karena malaikat tak butuh berlindung dari hujan dan panas. Tak butuh kasur untuk tidur. Tak butuh teman untuk menangis. Penghuninya adalah manusia. Yang bukan hanya memiliki kebaikan, juga kekhilafan. Yang bukan hanya punya nurani, tapi juga punya nafsu. maka ketika beberapa manusia bertemu dalam suatu tempat, berinteraksi dalam waktu yang lama. Maka, dalam rumah itu : bukan hanya butuh tempat yang lapang untuk beraktivitas di dalamnya. Tempat yang cukup lapang tanpa sampah dan barang rongsokan. Tapi tempat yang juga lapang dengan keihlasan, luas dengan kesediaan memaafkan. Tempat yang punya ruang untuk menerima, bukan hanya kesempurnaan tapi juga ketidaksempurnaan para penghuninya.

Dan penghuninya adalah manusia

Yang tak pernah menjadi sempurna.Maka ketika beberapa manusia tinggal bersama dalam satu rumah. Selayaknya tak boleh mengharap para penghuninya sebagai orang yang telah jadi, Selesai, finish; sebagai orang-orang baik yang telah sempurna kebaikannya. Karena kita akan kecewa. Karena tak sempurna itulah, maka ada peluang yang sangat besar untuk saling belajar, menasihati, memberi teladan. Lalu secara timbal balik, bergantian mengambil hikmah. Meneladani. Memberi dan menerima. Karena itulah para penghuninya perlu saling mendengar, meningkatkan sensivitas lalu bicara dengan komunikasi yang baik. Maka rumah selayaknya menjadi sekolah. Tempat menimba ilmu, tempat mematangkan kepribadian. Meluaskan wawasan. Rumah selayaknya menjadi sekolah. Karena ada begitu banyak orang. Sebagai guru-sumber ilmu; bagi diri kita. Jika saja kita mau belajar dari mereka. Rumah adalah sekolah yang paling dekat dengan realita. Sekolah, dimana kita bisa menampilkan diri kita apa adanya. Tanpa topeng, tanpa persona. Rumah adalah markaz tarbiyah kita. Tempat dimana kita bukan hanya menghafal ilmu, menuliskannya di kertas ujian. Rumah adalah tempat kita menuliskan kebiasaan baru, membentuk sikap, mematangkan kepribadian, belajar menyelesaikan konflik, belajar berkorban, belajar ikhlas, belajar tawazun, belajar itsar … belajar menerjemahkan teori ke dalam realitas. Dan rumah adalah saksi peradaban. Saat pintu dibuka, setelah hari demi hari pematangan dilakukan dalam rumah. Para penghuninya membuka pintu, keluar : sebagai orang yang lebih baik. Yang siap melakukan perbaikan untuk umat. Subhanallah. Inilah rumah kita : Rahim para mujahid. Rahim para perindu surga …

Inilah rumah kita …Inilah surga kita. Dimana Bahagia dan kemajuan, bukan sekedar utopia. Tapi sebuah karya, yang sedang kita kerjakan bersama. Mari duduk bersama, saling menatap mata, biarkan hati bicara. Bukankah kita sudah begitu merindukan bahagia itu? Mari duduk bersama… agar bahagia itu, tak sekedar mimpi semata. Mari memulai, mari memelihara. Sekarang !

Tidak ada komentar: