Kamis, 13 November 2008

Sebuah Rahasia Menjadi Pemenang

(disarikan dari sebuah tulisan seseorang …)

Pada suatu hari ada segerombol katak-katak kecilyang menggelar lomba lari

Tujuannya adalah mencapai puncak sebuah menara yang sangat tinggi.

Penonton berkumpul bersama mengelilingi menara untuk menyaksikan perlombaan dan memberi semangat kepada para peserta...

Perlombaan dimulai...

Secara jujur:
Tak satupun penonton benar2 percaya bahwa katak2 kecil akan bisa mencapai puncak menara.
Terdengar suara:
"Oh, jalannya terlalu sulitttt!!
Mereka TIDAK AKAN PERNAH sampai ke puncak."

Yang lain berkata :

"Tidak ada kesempatan untuk berhasil...Menaranya terlalu tinggi...!!

Katak2 kecil mulai berjatuhan. Satu persatu...

... Kecuali mereka yang tetap semangat menaiki menara perlahan- lahan semakin tinggi...dan semakin tinggi..

Penonton terus bersorak

"Terlalu sulit!!! Tak seorangpun akan berhasil!"

Lebih banyak lagi katak kecil lelah dan menyerah...

Tapi ada SATU yang melanjutkan hingga semakin tinggi dan tinggi...

DIA TIDAK AKAN MENYERAH!!!

Akhirnya yang lain telah menyerah untuk menaiki menara. Kecuali satu katak kecil yang telah berusaha keras menjadi satu-satunya yang berhasil mencapai puncak!
SEMUA katak kecil yang lain ingin tahu bagaimana katak ini bisa melakukannya?

Seorang peserta bertanya bagaimana cara katak yang berhasil menemukan kekuatan untuk mencapai tujuan?

Ternyata, Katak yang menjadi pemenang itu TULI!!!!

Katak yang menjadi pemenang itu TULI!!!!

karena mereka mengambil sebagian besar mimpimu dan menjauhkannya darimu.

Selalu pikirkan kata2 bertuah yang ada.

Karena segala sesuatu yang kau dengar dan kau baca bisa mempengaruhi prilakumu!

Tetaplah selalu berpikir positif

Kadangkala penting berlaku tuli terhadap orang-orang di sekitar kita yang berkata-kata negatif, pesimis dan membuat lemah semangat

Percayalah, bahwa niat yang baik akan selalu mendapat pertolongan untuk mewujudkankannya. Berniat baik, benar, dan lakukan

Ingatlah :

Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang Maha Mengetahui perkara yang ghaib dan yang tersembunyi, kemudian akan diberitakan-Nya kepada kamu tentang apa yang telah kamu perbuat".

(Q.S At –Taubah 105)

Badui itu pun menggendong ibunya …


Amru bin Jamad pernah berkata “salah seorang sahabat bertutur pada kami, suatu hari Ali bin abi Thalib dan Umar bin Khattab bertawaf bersama di baaitullah. Tiba-tiba ia mendapati seorang badui menggendong ibunya sambil bertawaf di seputar ka’bah. Orang badui itu berdendang :

Aku adalah hewan tunggangan ibuku yang tidak pernah lari darinya

Jika sang penumpang kelelahan, aku tidak pernah lelah sedikitpun

Pengorbanan ibu saat melahirkan dan menyusui jauh lebih besar

Aku memenuhi panggilan-Mu Ya Allah

Inilah aku datang memnuhi panggilan-Mu”

Menyimak lantunan sang badui itu, Ali bin abi Thalib berkata padaa Umar ibnu Khattab : “wahai Abu Hafs, ayo kita bergabung dengan orang itu melakukan thawaf lagi. Semoga Allaah menurunkaan kasih sayangnya pada orang itu dan kita beroleh berkahnya.”

Maka ketika orang badui itu memasuki pelataran ka’bah dan memulai Thawaf sambil melantunkan :

Aku adalaah hewan tunggangan ibuku yang tidak pernah lari darinya

Jika sang penumpang kelelahan, aku tidak pernah lelah sedikitpun

Pengorbanan ibu saat melahirkan dan menyusui jauh lebih besar

Aku memenuhi panggilan-Mu Ya Allah

Inilah aku datang memnuhi panggilan-Mu”

Ali bin Abi Thalib tak kuasa menahan haru hatinya, ia berujar “sungguh kebaktiannya sangat mengagumkan. Apa yang dilaakukannya adalah bentuk kesyukuran paling nyata. Semoga Allah membalas budi baktimu dengan balasan yang jauh dari perkiraan setiap insan”


Tapi apakah ini sudah cukup mampu membalas kebaikan ortu ?

Suatu hari, ada orang yang Thawaf sambil menggendong ibunya. Orang yang mengantar ibunya thawaf itu bertaanya pada Rasulullaah SAW , “apakah aku sudah menunaikan hak ibuku ?” rasulullah SAW menjawab “belum, bahkan sedetak nafas pun ”


Dan masih belum cukup

Suatu hari aada seorang sahabat berkata paada Umar Ibnu Khaattab : “sesungguhnya ku memiliki ibu yang telah udzur usia. Setiap kali ia ingin membuang hajat, aku meenggendongnya. Adakah itu berarti aku telaah menunaikan haknya ?” Umar ibnu Khattab menjawab “Belum, sebab ibumu sengaja melakukan itu agar engkau tinggal dekat bersamanya, sedangkan engkau memang melakukan hal itu, namun hatimu ingin berpisah dengannya”

Kekuatan Mimpi

Aku punya mimpi, apa lagi yang lebih kuat dari itu.Mimpi tentang surga yang jauh, yang hanya bisa dirangkai tangganya dari bahan kehidupan, kehidupan yang dekat dan nyata. Surga adalah mimpi terbesar, kenyataan terjauh, sumber kekuatan terdekat.

Jangan takut bermimpi, jika bermimpi saja kita takut, lalu kekuatan apa yang akan kita dapatkan untuk mewujudkannya. Sejauh mana kita meyakini sebuah mimpi, sebesar itulah kekuatan yang kita punya. Itulah kekuatan kita, kekuatan optimism, kekuatan harapan, kekuatan bahwa masa depan itu adalah waaktu yang akan kita temui juga. Bermimpilah, mimpi yang tak tampak hari ini, mimpi yang gaib. Karena semua yang terjadi, dulunya bernama harapan, bernaama mimpi, tak tampak badannya.

Percayalah pada mimpi besarmu. Lakukan dari yang kecil. Karena mimpi adalah kunci untuk kita taklukkan dunia. Dan jangan lelah, jangan berhenti sebelum semua itu jadi nyata. Jangan berhenti, please. Pada siapa lagi aku bisa berharap selaain pada diriku dan Allah. Karena ternyata, hanya itu yang aku miliki. Aku hanya punya diriku yang bisa kupaksa berjuang, yang bisa kuharpkan berkorban, yang bisa kuajak berlari. Aku Cuma punya Allah untuk bercerita, mengadu pada manusia hanya akan menaambah bebaan mereka, membuat mereka sedih. Aku Cuma punya Allah untuk meminta, kekuatan bertahan dan kembali berjalan, kekuatan untuk percaya : bahw Allah tak akan memberiku beban yang aku tak sanggup memikulnya. Karenaa itu aku meminta untuk percaya, percaya pada kekuatan berharap, pada kekuatan ikhtiaar. Bahwa tak ada usaha yang sia-sia, mungkin hari ini tak mampu merobohkan tembok masalah itu, tapi lumpur yang kulemparkan bertubi-tubi, akan meninggalkan bekaas di sana. Menjadi ruh untuk biji-biji harapan, dan hujan akan membuat akar-akarnya tumbuh, daunnya menghijau, makin banyak, hingga kekuatan akar-akar asa itulah yang akan merobohkan tembok besar itu.

Kita memang tak mungkin menciptakan tanaman, tapi kita bisa menyediakan tanahnya untuk tumbuh, memeliharanya dengan air kesabaran. Dan matahari, angin, hujan yang akan menaungi tumbuhnya, menjadi besar. Maka bermimpilah, karena ketika kita bermimpi, bangun dari tidur dan berusaha … maka alam akan memeliharanya, hingga waktu mengantarkannya jadi nyata. Mimpilah, jangan tidur lagi

Kamis, 30 Oktober 2008

Pemimpin dan Komersialisasi Seks Rakyat

Sebenarnya manusia itu makhluk semacam apa ? aku ingin tahu …. Apa yang membuat manusia berbeda dengan makhluk bernama hewan, iblis, jin, dan malaikat. Malaikat pernah diperintahkan sujud pada adam, tapi iblis ada juga yang berbentuk manusia,bahkan dalam alquran allah pernah menyebut manusia bisa lebih buruk dari hewan. Lalu sebenarnya manusia itu makhluk yang seperti apa ?

Aku berkumpul dengan orang-orang yang membuatku nyaman. Merasa aman dan dicintai. Merasa tentram dan bahagia. Dan perjalanan panjang ini seperti perjalanan sidharta (jika benar-benar ada) atau mungkin seperti perjalanan musa (yang sudah merasa tahu banyak, tapi ternyata banyak tidak tahu). Sepanjang jalan aku terus mendebat dan bertanya, tanpa ada khidir yang memberiku jawaban dan mentor. Aku seperti menyusuri dunia yang berbeda. Padahal jalan kutapak ini masih bernama jawa tengah, kakiku masih berpijak di tanah, masih bertemu dengan realita yang nyata.

Kami berhenti di sebuah jembatan, memasuki jalan setapak di bawahnya menuju sebuah bangunan tua yang nyaris roboh. Di seberang jalan ada sebuaah baliho berikuran besar, bergmbar para caleg dari sebuah partai islam. Aku yakin, mereka adalah ustad dan ustadzah yang tak hanya bisa tilawah, tapi sedang berjuang mentransformasikan keagungan ajaran quran ke dalam realitas yang sebenarnya. Menjadikan bahasa langit turun ke bumi, masuk ke hati para manusianya, ada di hatinya, bahkan tegak dalam system pemerintahannya. Aku tersenyum, menyimpan optimism. Sejenak.

Kami memarkir motor di depan sebuah bangunan yang bertuliskan ‘losmen’ batu batanyanya bahkan sudah mulai berjatuhan. Gentengnya menghitam dan bolong, aku yakin pasti bocor waktu hujan. Lantainya semen jaman colonial yang sudah nyaris tak bisa dibedakan lagi dengan tanah kecuali kepadatannya. Aku masih mengobservasi bangunan tua yang bertuliskan ‘losmen’ itu. Dari luar hanya tampak sebuah pintu, dua buah jendela kayu yang sudah dipalang. Di luar berjajar beberapa becak bewrnaa merah dan sepeda motor. Sepintas tak ada yang menyangka jika ada kehidupan manusia di sana. Selayaknya losmen, ada beberapa kamar berjajar berhadapan. Pintu-pintunya tertutup pintu kau yang kusam dan lapuk. Berderik jika dibuka atau ditutup.

Di samping rumah ada sumur untuk mandi dan mencuci, harus manrik timba di sana dengan tali untuk mendapatkan airnya. Di sebelah sumur ada kamar mandi, setengah pintu, yang jika mandi di sana orang lain yang berjalan tentu dengan sangat jelas bisa melihat bagian atas pusar orang yang mandi. Antar lorong kamar ada jemuran bergelantungan, tak hanya baju tapi pakaian dalam, seprei, sarung dan segala macam kain.

“hari ini tidak ada orang, lagi pada keluar”, begitu aku salah seorang penghuni. Perempuan tengah baya yang sedang mencuci. Kami pun beranjak pulang,

Seorang teman merekam setiap sudut bangunan.

“harga sewanya lima ribu rupiah tiap kali pakai’ begitu penjelasan guide kami

“oooo … murah sekali ya”

“ya … mereka melakukan ML di atas tikar itu”, lanjut sang guide

“mas berapa tarif tiap kali ‘jajan’ di sini ? ”

“rata-rata sepuluh sampai tiga puluh ribu rupiah, harga rakyat ”.

Kami tak bisa mendefiniskan perasaan kami. Tikar rombeng yang tentu saja tak empuk, bahkan sebagian sudah dimakan ngengat dan kutu. Bau kamar-kamar itu seperti percampuran aneh dari urine manusia, kelelawar, tikus, kecoa, bau tanah dan lumut. Membayangkan hubungan macam apa yang bisa dilakukan manusia di tempat itu adalah sebuah gambar hitam bersemut di televisi. Kabur. Lebih tak bisa dibayangkan lagi, jika hubungan (seperti suami istri itu) dilakukan dengan pasangan waria yang sudah berulangkali gagal suntik silicon atau laki-laki yang bau, penuh keringat, daki dan berkulit kasar.

Aku melihat semua fragmen dari luar. Dalam hati sebenarnya sangat bersyukur, tempat itu sedang sepi. Tak ada aktivitas. Yang kuceritakn tentang detail di atas adalah hasil cerita temanku, juga pengamatan dari video yang sempat ia rekam.

“Ayo pulang …. Orangnya nggak ada”, begitu ajak temanku

Tujuan kami sebenarnya untuk menemui seorang PSK yang terkena HIV +, seorang perempuan paruh baya, bisu dan tuli pula. Kepala dinas kesehatan kota menitipkan uang setelah kami menceritakan keadaannya. Wanita berumur lebih dari empat puluh tahun itu masih terus menjalankan aktivitas seksualnya. Begitu keterangan sang guide.

Aku memang ingin segera pulang … saat kami membelokkan motor, seorang lelaki bersepeda motor datang, sepertinya ingin mencari seseorang, tapi sama dengan kami—ia tak berhasil menemui orang yang ia maksud. Dari dalam ruangan, dua orang anak muda keluaar lewat pintu. Hatiku tergores, salah seorang dari mereka masih memakai seragam SMA. Kepalaku bertambah pusing.

Di seberang jalan foto para caleg itu masih tersenyum. Aku berdoa, mudah-mudahan mereka diberi kekuatan oleh Allah untuk menyelesaikan permasalahan umat. Menjadi pemimpin di negeri bernama Indonesia ini pasti berat, sangat berat, mungkin akan sangat panjang hisabnya. Tapi aku juga heran, mengapa banyak yang berminat mengajukan diri, bukan karena diminta partai untuk maju… Aku berdoa untuk diriku, “banyak hal”.

Kepalaku makin pusing. Telingaku mengiang-ngiang kata-kata : “dan tiap-tiap kamu akan dimintai pertanggungjawabnnya … ”

Surakarta, 100 tahun sumpah pemuda (14.12 WIB)

Pemuda dan Kompleksitas Seksualitas

Hari sumpah pemuda. Hari ini aku diajak melihat lebih dekat pemuda Indonesia. Solo hari ini sibuk, di tiap pojok kota memerah. Khari ini sang ibu soan ke solo. Segerombolan orang berseragam merah, partisan sebuah partai politik tumpah ke jalan. Laki-laki perempuan, tua-muda, bahkan anak-anak. Tapi wajah-wajah itu sebagian besar adalah wajah-wajah para pemuda Indonesia. Katanya hari ini akan dipasang 28.000 bendera merah putih. Symbol kebangkitan negeri dan kaum mudanya. Lalu jalan menjadi ramai seketika, motor disetel menderu-deru, tanpa helm, bertiga di atas motor … klakson bersahutan, seperti mengusir para pengguna jalan yang melaju pelan. Dan polisi mengatur perlahan, tak beranjak dari tempatnya. Dan para pengguna jalan pun hanya bisa menggerutu, seolah maklum … pemakluman yang sejak lama. Dan hari ini masih 28 oktober 2008, 100 tahun sumpah pemuda.

Kami berbelok ke kantor GF ATM untuk Surakarta. Berbicara dengan pria setengah baya, coordinator GF Surakarta. Di sana kami dihidangkan angka-angka penderita HIV yang jumlahnya sudah ratusan, mulai dari swasta, pns, mahasiswa sampai ibu rumah tangga. Beberapa diantaranya meninggal, yang lain dalam perawatan atau CST kami menyebutnya tiap tahun jumkahnya tak pernah turun, selalu bertambah kasus baru dan meningkat kurvanya. Baguss kalau dilihat oleh funding, artinya jumlah jangkauan makin baik. Makin banyak kasus terungkap makin banyak program intervensi yang bisa dilakukan, tentu saja bukan intervensi untuk berbuat mereka berhenti melakukan aktivitas seksual berisiko—tapi menganjurkan mereka berperilaku hidup sehat. Kami tiap hari belajar untuk tidak lagi berpikir bahwa “say no to free sex” adalah saran yang baik dikatakan pada komunitas hig risk. Kami diajari tidak menularkan penyakit, selain itu terserah –bukan urusan para petugas kesehatan. Kalimat itu terdengar seperti doktrin. Kami menyekat wilayah—membatasi diri pada kesehatan, lalu yang lain urusan siapa ? urusan privat, itu pilihan pribadi, begitu pendapat seorang dosen. Ya serahkan saja pada para rohaniwan dan pemuka agama, serahkan saja para para da’i. Aku tersenyum getir, da’I mana yang mau turun ke daerah segelap itu ? berbicara lugas dan lantang “jauhilah zina, sesungguhnya zina adalah salah satu dosa yang besar … bertaubatlah”. Tiba-tiba aku teringat nabi luth, aku teringat yusuf ….

Pertanyaan itu seperti mengejek diriku sendiri, mengejek teman-temanku. Mengejek kita yang mengaku beragam dan beriman. Bahkan mungkin para pemuka agama, dai, dan ulama-ulama itu bahkan tidak tahu bahwa pelaku maksiat itu sangat banyyaaak. Dan kita kian permisif … (kita ?). merdeksi kemaksiatan yang besar itu hanya dalam angka-angka, menganggapnya sekedar fenomena, dan bekata “astaghfirullah”. Dadaku sesak, ternyata iman ini masih selemah-lemahnya.

Kami disodorkan kertas …. Kelompok berisiko di Surakarta dan jawa tengah : dan tersebutlah nama-nama itu : pengguna narkoba suntik, pekerja seks komersial—psk, sebuah istilah yang dianggap lebih manusiawi dari pelacur, lalu pelanggan seks komersial, homoseksual dan waria, narapidana, ibu rumah tangga … dan angka akumulasi di table paling bawah itu menunjukkan empat digit saudara … ribuan orang. Bahkan komunitas homoseksual di Semarang yang terdata lebih dari seribu tujuh ratus, ratusan juga jumlahnya di daerah kudus, pati, tegal, purwokerto, cilacap …. Angka di kertas itu, tentu saja adalah manusia; punya kepala, punya badan dan jiwa.

Dan yang membuat kami excited jumlah uang yang dikeluarkan lembaga donor ternyata masyaallah. Lebih dari sembilan digit untuk satu lsm saja. ‘bantuan’ yang aku yakin tak mungkin benar-benaar ikhlas tanpa pamrih apa-apa. Untuk uang sebesar itu, aku sulit membayangkan tanpa ‘misi apa-apa’ selain kemanusiaan. Maklum, aku termasuk orang yang amerikaphobia. Yahudiphobia.

Dalam teori promosi kesehatan kami diajari untuk meyakinkan para stake holder bahwa : tiap orang, tiap pihak punya kepentingan ! kepentingan untuk mencegah HIV, IMS lain dan AIDS ini agar tidak menyebar lebih luas dan dahsyat. Tentu saja, ketidakpedualian akan realitas ini akan membuat bola liar virus itu makin tak terkendali … makin banyak yang terjangkit, makin banyak resiko social yang harus ditanggung, makin banyak cost yang harus dikeluarkan. Para lsm bahkan kpad sendiri jiks bekerjasama dengan funding luar negeri tersebut tentu saja harus mengukuti ‘sub agreement’ yang telah ditentukan oleh funding. Jadi apa yang akan dikerjakan oleh lsm maupun lembaga lain yang diajak bekerjasama itu harus sesuai dengan Mou yang telah dirancang oleh pemberi donor. Begitu juga dengan masalah pelaporan. Wajar jika beda funding beda program, beda dana beda pelaporan, beda segmentasi, beda dukungan. Dan ‘kita’ telah benar-benar sangat terikat dengan lembaga funding. Nyaris sebagian besar sumber keuangan dari funding—bahkan ada lsm yang sengaja didirikan untuk menjadi lembaga yang bisa mencairkan dana funding yang nganggur, selesai kerjasama dengan funding, selesai pengabdian. Dan aku makin pesimis dengan kata pengabdian, ketulusan, kemurnian hati dan rasa social yang tinggi.

Yang menjadi paradox lain adalah, funding internsional itu bisa menjamah hingga tingkat kabupaten secara langsung. Tanpa birokrasi satu pintu yang ruwet, seperti tangan panjang—kalau tak mau disebut panjang tangan : intervensi internasional bisa langsung dilakukan ! dan ini ternyata tentu saja membuat para stakeholder daerah senang … ada yang meringankan tugas mereka.

Ketika bertemu dengan salah satu lsm yang menjangkau para pelacur dan waria, setengah berkelakar mereka berkata “kalau ngomong masalah dana kenapa funding lebih tertarik untuk membiayai komunitas homoseksual ?”

“ya pintar-pintarnya kita melobi lah … teman-teman kita kan banyak juga yang nyumbang, ya tiga ratus empat ratus (ribu) kan banyak juga kalau dikumpulkan ”, begitu jawab sang aktivis komunitas gay.

“hahaa … kalian bisa narik sumbangan ke anggota, lah anggota kami baru bisa makan kalau ‘jualan’ … ”

Hatiku makin tergores. Ketika seks menjadi gaya hidup, yang lain menjadikan seks sebagai cara bertahan hidup. Hatiku makin mencelos …. Kadang ada beda yang sangat tipis antara menolong dan memanfaatkan. Antara melihat peluang dan tantangan.

Kami masih berdiskusi, belum habis rasa heran dan penasaran … bahwa ternyata dunia yang kami temui dibaalik ruang kantor dan kuliah adalah dunia yang tak hanya hitam putih. Ada sekian ribu gradasi warna, campur baur hingg tak jelas batasnya. Dan tiba-tiba aku ingin ke toilet, perutku mual.

kekuatan mimpi, mimpi yang menguatkan


Apakah mimpi itu selalau egois ? apa yang aku inginkaan untuk diriku ?
Mungkin egois, jika ternyata mimpi itu hanya memberi kesenangan sementara bagi diri kita sendiri, tapi menjadi penderitan buat orang-orang di sekitar kita.

Tapi apakah ada mimpi yang membuat kita menjadi makin buruk ? ada, mimpi yang hanya berupa angan-anagn yang panjang. Sepertin hayalan, yang bahkan kita sendiri tak mempercayainya bisa benar-benar terjadi. Mimpi yang tak berjiwa, karena kita tak berusaha untuk terus mewujudkannya. Karena kita terlanjur menganggapnya mustahil.

Mimpiku kini bukan hanya untuk aku bahagia sendiri.
Mimpiku kini adalah ibu. Agar ibu kembali menemukan senyumnya yang lama hilang. Agar ada lagi bahagia yang terpaancar di matanya.

Mimpiku kini adalah ibu, agar ibu bisa berjalan tegak menatap keindahan hidup, karena ada beban yang aku kurangi dari pundaknya. Aku tahu mungkin aku tak punya cukup waktu, karena waktu memaang akan selalu memberi kita hadiah berupa keriput dan akumulasi bilangan-bilangan umur yang makin berkurang.

Aku tahu aku tak punya banyak waktu, karena ada masalah yang jika tak segera diselesaikan akan menjadi ledakan. Melukaimu, melukaiku, melukai kita.

Allah beri aku jalan. …

Part 2
Aku merasa aku ingin menjadi apapun, menjadi siapapun, menjadi dimanapun
Pragmatism hidup dan keterdesakan seringkali memojokkan kita ke suatu sudut. Terkepung daan kita pun berkata
‘apapun yang terjadi, terjaadilah’

Aku tak mau menyerah dalam keterpaksaan
Pasti menyakitkan hidup dalam keterpaksaan, seperti dijajah
Hidupku adalah keputusanku
Meski banyak dari kenyataan yang kita jalani, bukanlah yang kita rencanakan
Tapi kita bisa merencanakan ulang hidup kita, dari kenyataan yang kita hadapi hari ini

Saat aku memutuskan menjadi ‘sesuatu’ yang berbeda dari mimpi sebelumnya, aku bukan menyerah
Hanya berhenti mengumpulkan bekaal perjalanan … yang ternyata masih jauh dan tak lempaang
Saat aku memutuskan ‘berkorban’ menjadi ‘siapapun’ sebenarnya hanya sebuah episode pendek untuk bertahan. Karena kesempatan tak datang berkali-kali.
Berbelok mungkin, akan membuat kita menemukan jalan baru yang lebih indah … menuju tujuan kita semula. Asal di kepala kita : masih memlihara mimpi itu. Masih percaya

tantangan orang dewasa

Menjadi orang dewasa seringkali memang tak mudah. Justru karena ia tak lagi bisa berpikir sebebas anak-anak, berpikir tentaang apa saja, bertanya apapun, melakukan apapun yang ia inginkan. Memang tak lagi mudah karena ia tak lagi bisa menangis spontan, kapan pun ia mau. Menjadi orang dewasa adalah masa di mana kita kadang harus terpaksa tersenyum, saat sedih. Menahan tangis, saat kita ingin tersedu-sedu. Menjadi orang dewasa seringkali tak mudah, Karena ternyata masalah tak selesai hanya dengan menangis. Ketika orang-orang dis amping kita tak mengerubungi penuh cemas, melihat kita bersedih. Karena orang dewasa harus banyak belajar, menyelesaikan masalahnya, sendiri saja.

Menjadi dewasa makin tak mudah, Karena kita merasa sungkan mengespresikan cinta kita dengan mencium lembut. Makin lama kita makin menahan diri untuk secara jujur mengungkapkan emosi kita, tanpa membuat orang lain sakit hati.


Entahlah, saat makin jauh dari masa anak-anak kita jadi makin lupa bagaimana rasanya hal-hal kecil bisa membahagiakan kita. Sepotong permen, sebentuk gambar aneh, atau bisa mandi sendiri. Kita makin bingung dengan makna berhasil, kita makin tak tahu bagaimana caranya bmensyukuri keberhasilan ‘kecil’ sebagai nikmat yang besar. Makin jauh dari masa kanak-kanak, kita makin lupa bagaimana caranya tersenyum tulus, senyum menggemaskan yang membuat orang lain ikut bahagia.

Apa yang sebenarnya terjadi pada orang dewasa … mengapa kita sering membuat sesuatu yang sebenarnya mudah menjadi sulit ? mengapa kita tak lagi menikmati indahnya berusaha, tertaih-tatih, membalikkan badan, merangkak, berdiri, berjalan jatuh bangun hingga akhirnya bisa tegak berjalan. Meski menangis, anak-anak tak pernah berhenti berusaha lagi. Anak-anak bisa begitu menikmati indahnya berusaha, tanpa meraasa tertekan, tanpa terbebani. Menikmati perjuangan dengan kesungguhan, itulah yang harus kita pelajari lagi.

Menjadi orang dewasa seringkali sulit, karena kita nyaris kehilangan rasa penasaran kita, nyaris berhenti untuk menanyakan hal-hal yang sebenarnya tidak kita tahu : ini apa ? untuk apa ? kenapa begitu ? Pahala itu apa ? Emang Tuhan rumahnya dimana ? kita telah merasa tahu, meski kita tidak benaar-benar tahu. Menjadi orang dewasa seringkali sulit, kegairahan pembelaajar itu rasanya menguap perlahan, dan kita pun menahan diri untuk menciptakan maha karya kita. Kita merasa bahwa sampan dari kulit jeruk bali adalah hal yang sepele, kita merasa berhasil membuat pesawat kertasa adalah hal yang bodoh. Dan kita mulai belaajar untuk tidak menghargai ‘hal-hal kecil’, karenaa itu kita kesulitan menghasilkan hal-hal besar.

Mungkin orang dewasa serringkali merasa telah memiliki banyak hal, telah sedemikian berkuasa, telah mengecap banyak asin-manisnya kehidupan; dan merasa tak perlu belajar lebih banyak lagi. Semangat dan kegairahan adalah milik anak muda. Mungkin itu yang ada di pikirannya. “sudahlah tak usah macam-macam, kita kan sudah mulai tua”. Dan orang dewasa membangun sedemikian banyak tembok baru dalam hidupnya. Menjadikan hidupnya kian sempit dan sesak, kehilaangan pemandangan indah yang terhampar di sekitarnya. Dan menjadi bahagia adalah hal yang kian sulit dirasakan.

Apa yang sebenarnya mereka miliki dan perlahan menghilang dari diri kita ?

Tapi menjadi orang dewasa adalah sebuaah kebutuhaan, sebuah kemestian yang tak bisa dielakkan. Kembali menjadi anak-anak adalah sebuah kemuinduran. Terutama jika, ingin begitu mudahnya melepaskan sedemikian banyak tanggungjawab di punggung kita. Karena waktu tak bisa di-undo. Masa kanak-kanak itu adalah sebuah masa yang bernama kenangan. Masa yang tak kembali.

Kita kini, mungkin harus duduk di tepoi taman bermain. Memperhatikan anak-anak kecil bermain, memanjat pohon, berayaun, bahkan bertengkar. Mengobservasi manusia-manusia jujur itu, lalu mengambil sebanyak mungkin hikmah. …

Lelaki itu berzakat

Karena para amil harus proaktif, jemput bola! Karena itulah saya dan teman-teman, sebagai relawan di sebuah lembaga amil zakat nasional, membuka gerai zakat di depan masjid di komplek perkantoran di Semarang. Beberapa orang datang untuk mengambil brosur, yang lainnya hanya melintas.

Saat adzan solat jumat mulai berkumandang, lelaki itu datang ke gerai kami. Ada alasan syar’i bagi kami para perempuan, untuk tidak solat dan puasa Ramadhan, tapi bagi para lelaki ? karena itu kami terheran-heran. Lelaki gagah itu masih asyik menghisap rokoknya. Duduk dengan tenang di dekat gerai kami. Saya memandanginya, baju kotor dan tubuh berdaki, hanya memakai sandal jepit lusuh. Kaos oblongnya yang sudah tak bisa disebut putih, tentu saja mengatakan pada kami bahwa ia bukan pegawai kantor di kompleks ini.

Dan khutbah jumat pun dimulai … tapi lelaki itu tak juga beranjak. “Solat pak ?”. lelaki itu tertawa aneh, seperti menyeringai. saya takut, lelaki-lelaki lain berada di dalam masjid, bahkan loper Koran dan majalah di samping kami juga telah menitipkan barangnya pada kami untuk dijaga. Dan laki-laki aneh itu tak bergeming. Saya dan teman saling berpandangan, takut. Berbagai pikiran buruk muncul di kepala kami.

Laki-laki itu tiba-tiba berdiri, membuang puntung rokoknya, berjalan menghampiri kami. “tulis mbak, di situ …”, ujarnya tiba-tiba sambil menunjuk pada kuintansi pembayaran zakat yang kupegang. “saya mau bayar zakat … ”.

“mau zakat pak ? tapi Bapak belum wajib zakat … ”, ujarku hati-hati

Tidak ada komentar … lelaki itu justru merogoh saku celananya, mengeluarkan uang ribuan dan receh yang ada di sana.

“nih bayar … tulis ya …”

Saya memandang rekan, meminta pertimbangan; dia hanya mengangguk-angguk, antara setuju dan takut. Saya mulai menuliskan kuitansi … meminta lelaki aneh itu menyebutkan namanya, ia berpikir seolah-olah lupa. Ketika saya Tanya alamatnya, ia hanya menjawab … “terserah mbak aja”. Saya mengulangi pertanyaan itu dengan pertanyaan tertutup, “ tinggal di semarang mana pak ?”. “ya di semarang aja …”, jawabnya.

Lelaki aneh itu mengeluarkan uang seribu tiga ratus rupiah dari kantongnya, memberikannya pada saya.

Dan saya pun menuliskannya, infaq : Rp. 1.300,00. (seribu tiga ratus rupiah). Saya memintanya tanda-tangan, tindakan yang belakangan saya sadari sebagai sebuah tindakan aneh. Dan lelaki itu pun menuliskan angka loo di kolom tandatangan. Saya heran dan mengulangi permintaan saya, “tanda-tangan di sini pak”, tangan saya menunjuk kolom tandantangan. “iya itu tanda tangan saya mbak”, ujarnya menyakinkan saya. Saya tersenyum. Memberikan kuitansi form-1 padanya. Lelaki itu mengucapkan terimakasih, tersenyum-senyum dan mengibas-ngibaskan kuitansinya, lalu pergi begitu saja.

Saya masih berdiri mematung. Di dalam ruangan, adzan berkumandang.

Saya lalu teringat beberapa ucapan para calon muzakki lewat telemarketing saat kami menawarkan jemput zakat : “aduhh … nanti kalau saya setor juga ke lembaga mbak, ndak zakat yang saya kasih tahun ini kebanyakan”. Dan saya pun beristighfar dalam hati. “ya urusan saya dong saya mau zakat apa nggak”, jawab yang lain. Tapi ada juga yang dengan sangat bahagia karena merasa diingatkan, “ya besok saya transfer ya mbak, tolong laporannya disusulkan …”, sangat mudah. Ya, karena hati manusia berbeda-beda.

Hari ini Allah menegur saya, menegur kita, dengan seorang lelaki aneh yang setengah waras, yang dengan sumringah mendatangai amil zakat, menyucikan hartanya dengan infaq. Dan saatnya kita bertanya pada diri kita …

Allah Aku Minta ....

Allah sebenarnya tanpa kukatakan, Engkau tahu apa yang aku rasakan. Engkau Mengerti apa yang aku inginkan. Tapi aku tetap perlu berdoa, meminta, karena Engkau pernah berkata bahwa Engkau senang mendengar suara hambaMu saat memohon padaMu. Aku harus terus meminta padaMu ya Allah, agar kesombongan dalam diri tak semakin mengeras. Menegaskan diri bahwa aku hanya seorang hamba, Yang meski sering mencoba tak menangis, tapi aku Rapuh luar biasa.

Allah ... Engkau Tahu bahwa akan selalu ada kesulitan, jika Engkau tak memudahkan. Dan Tak ada kebahagian di Jiwa, Jika Engkau tak menganugerahkannya... Allah Yang Maha Mendengar ... Allah Yang Maha Tahu ... Allah Yang Maha Kuasa ... Engkau boleh memberikan ujian apapun padaKu karena Engkau memang punya Hak untuk itu. Tapi aku minta, Jadikan Aku Ridha ... hingga dalam keadaan sesulit apapun aku masih bisa terus berhusnudzon KepadaMu. Tak Sampai mengumpatMu, Tak sampai membenciMu, Tak sampai Menjauh dariMu. Engkau Maha Suci dari berbuat Dzolim dan Aniaya. Aku minta kepadamu kelapangdaan untuk ikhlas ... hingga samudranya membersihkan kotornya jiwaku dari prasangka. Sulit Ya Rabb, karena Itu aku minta padamu : Luaskan Jiwa dengan Ikhlas dan baiksangka.

Ya Allah ... katanya Dunia ini penuh warna: di sana bukan hanya ada orang baik, tapi juga jahat dan dengki, bukan hanya ada tawa tapi juga kepedihan dan kesakitan, keputusasaan dan makar durhaka. ya Allah, Katanya dunia itu luas, bulat dan selalu berputar ... maka aku takkan selalu di atas, tapi di bawah, di samping, tak hanya berpijak, terlempar kadang. Terhempas dan Jatuh. sunnatullah Gravitasi.

Kemanapun kaki ini akan melangkah, dengan siapapun aku berjalan, dan dalam situasi apapun aku berada ... aku minta padaMu : " jangan biarkan aku sendiri saja". jangan serahkan aku pada kebodohan dan Hawa Nafsu Jiwa. Aku ini tergesa-gesa, sering lupa, ceroboh dan bakhil. Allah Jika semua ruang dan waktu adalah milikMu, maka aku akan bersedia : berada di manapun, dalam kondisi apapun. Asal Masih dalam lindunganMu, masih dalam naungan CintaMu. Maka Ajari aku cara agar engkau sudi mencintaiku, terus bersamaku, tak meninggalkanku. Ajari aku rela meninggalkan apa saja, siapa saja asal aku bisa dekat denganMu. Ajari aku berani bertemu dengan siapa saja, berbuat apa saja .... asal Engkau RIdha padaKu. Karena aku yakin keridhaanMu membawaku pada keluasan bahagia, kemahasemestaan cinta, keluarbiasaan bahagia.

Aku tahu, Engkau sudah mengabarkannya : Bahwa akulah yang paling bertanggung jawab terhadap diriku. bahwa aku yang akan menuai segala kebaikan dan keburukanku. Bahwa semua akan diganjar setimpal dengan apa yang telah dilakukan. Maka semestinya aku tak perlu menunggu inisiatif orang lain, kambing hitam, atau peran pengganti untuk lakonku sendiri. Aku tahu Ya Allah, tapi seringkali berat untuk melakukan apa yang sudah kita tahu. Pada banyak hal, aku seringkali merasa pengecut. Rapuh. lemah. Bimbang dan Mundur.

Karena itu Ya Rabb, kekuatan yang membolak-balikkan hati. aku minta KepadaMu. tetapkanlah hatiku dalam Iman yang selalu Hidup, kokoh dan Jujur. Berikan Aku kekuatan aqidah, kehusyukan dalam ibadah. ya Allah aku minta pada Mu ilmu, mengobati kebodohanku, meluruskan bengkoku, memandu jalanku. Aku minta padamu Furqon, kemampuan membedakan yang benar dan salah, keluar dari yang meragukan, kembali dari kesesatan pada HIdayah.
Aku minta KepadaMu keberanian untuk memutuskan ,mengikuti kata hati yang benar. Aku minta KepadaMu diberi kesabaran dalam berjuang. Dibukakan jalan-jalan kemudahan. Dihujankan keberkahan. Aku minta KepadaMu keberanian mengakui kesalahan, kelapangan memafkan, kejujuran dalam bersyukur. Dekatkan aku pada apa yang membuat aku dekat KepadaMu. Jauhkan aku dari apa Yang membuat aku jauh dariMu. Aku minta padamu agar tidak dijadikan jenuh meminta… Aku meminta padaMu agar tak bosan berusaha, Hingga ku bertemu denganMu dalam husnul khatimah.

Selasa, 02 September 2008

kado terindah untuk orang tua kita


Setelah muhasabah, kami pasti teringat ibu. Terisak dalam tangis yang dalam. Sesak karena merasa tak berdaya, tak cukup punya hujjah untuk berkata “Ya Allah kami adalah anak-anak yang berbakti pada orang tua kami”.

Jika berbakti dikukur dengan waktu, maka kami adalah orang-orang yang kalah. Lima tahun pertama dalam hidup, kami adalah makhluk kecil yang sangat merepotkan bahkan mengesalkan. Bahkan tak terpikir dalam kepala kami (mungkin) kata “berbakti” apalagi merealisasikannya. Masa bersekolah selama delapan tahun kemudian pun kami masih menjadi anak yang merepotkan. Membebani kepala-kepala orang tua kami dengan biaya sekolah yang luar biasa, nilai-nilai pelajaran yang membuat was-was, dan kenakalan kecil yang membuat orang tua kami marah. Tapi mungkin masa-masa inilah yang paling berkesan, kelucuan dan kepolosan kami mungkin akan jadi penyejuk hati orangtua, kadang-kadang—tapi itu pun kemungkinan besar kami lakukan tanpa sengaja. Tanpa niat untuk berbakti dan membalas jasa orang tua. Saat beranjak remaja, saat hormon dalam tubuh kami mulai matang, kami belajar memisahkan diri. Mencoba melepas ikatan-ikatan yang membuat kami dianggap manja dan kekanak-kanakan. Mulai mengurangi intensitas kami di rumah, menjelajah dunia yang aneh di luar rumah. Kami mencari-cari, mengorek-ngorek luasnya warna-warni kehidupan. Kami mulai berbeda pendapat, membantah bahkan memberontak pada aturan dan perintah, hatta datangnya dari orang dewasa yang kami panggil Bapak dan Ibu.kami makin lupa makna berbakti apalagi mengabdi.
Saat masa remaja kian panjang, mendekati masa dewasa. Pergi makin jauh dari orang tua, puluhan, ratusan, bahkan ribuan kilometer jauhnya terpisah. Atas alasan kuliah atau bekerja. Dan waktu kita pun kian menyempit untuk membersamai orang tua, berada dekat mereka. Menyuguhkan teh hangat di pagi hari, memijat mereka saat lelah, mendengarkan cerita mereka, menjaga mereka saat sakit.

Hati makin nelangsa, justru ketika kesadaran pentingnya berbakti itu kian menguat. Mengukur ketidakmungkinan kembali mendekat secara fisik, jarak dan waktu sudah sedemikian jauhnya. Rasanya begitu sedih, khawatir tak cukup punya waktu untuk berbakti. Makin cemas memikirkan kemungkinan bahwa, ketika seorang anak bernajak dewasa, maka ia akan bekerja, menikah. Barangkali tinggal di tempat yang makin jauh, bersama suami dan anak-anaknya. Saat ijab-qabul dilakukan, saat itu juga ada pergeseran peran dan ketaatan. Setelah Allah dan Rasulnya, maka Suami bagi istri, mertua bagi menantu. Lalu tampaknya waktu kian sempit dan kesempatan kian terbatas untuk berbakti pada orang tua. Tiba-tiba aku makin takut.
“Lalu bagaimana caranya berbakti dalam keterpisahan fisik yang jauh ?”. “perjalanan kita belum selesai … jika kau kembali justru akan membuat orangtuamu sedih” , begitu nasihat seorang teman.
“Nin, bukankah kau sering berdoa … Rabbighfirli waliwalidayya warhamhuma kamaa Rabbayani shoghiroo ?” aku mengangguk, mengiyakan. “pada siapa kamu ajukan doa itu?” Tanya temanku kemudian. “pada siapa kamu berharap doa itu dikabulkan? ”
“Allah … Allah”, Jawabku sambil menangis.
“Kita berdoa, meminta pada zat yang Maha Kuasa, yang memiliki segala kekuatan dan kasih sayang … Kita telah menitipkan orang tua kita pada Allah ”
Aku terdiam
“Siapa yang lebih amanah dan lebih baik dari Allah untuk menjaga dan memelihara orang tua kita? “

Aku masih terdiam terisak. Menyadari bahwa orang tua kita butuh lebih dari sekedar doa. Dan kita pun butuh dari sekedar ‘anak biasa’ agar Allah mengabulkan doa kita. Kita butuh menjadi anak yang soleh, butuh menjadi anak yang berbuat kebaikan, butuh menjadi anak yang sungguh-sungguh menuntut ilmu dan bekerja. Agar Allah mengabulkan doa kita untuk orang tua.

Dengan naïf aku pun menghitung … biaya makan, sekolah, baju dan perabotan, transportasi dan rekreasi, rumah tempat berteduh, makan dan minum dan segala biaya hidup sejak statusku tercatat sebagai anak. Ada bilangan ratusan juta sekian-sekian, jumlahnya. Yah … jika hubungan orang tua-anak kita hitung dengan paradigma kapitalis, seperti penjual-pembeli. Maka minimal kita harus ‘mengganti’ ratusan juta sebagai ganti materiil. Mengganti yang materiil saja, barangkali sangat sulit. Ketika seorang anak mulai bekerja, maka penghasilannya akan lebih banyak untuk dirinya, kepentingannya, mungkin menabung untuk biaya menikah. Dan waktu berpenghasilan pribadi itu pun biasanya sempit. Setelah cukup mapan, sebagian besar berpikir untuk menikah, punya keluarga sendiri. Maka penghasilannya untuk mencukupi istri dan anak-anaknya. Orang tua kadang hanya ‘dihadiahi’ apa yang tersisa dari pengeluaran utama. Maka aku berkesimpulan : ternyata mengganti pengorbanan yang berupa materiil saja kita tidak cukup mampu. Apalagi jika kita belum bekerja, apalagi jika kekkikiran dan keegoisan diri masih luarbiasa melekat—mengalahkan arti pengabdian. Yah, aku baru mengerti arti pepatah “kasih orang tua sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah”.

Lalu cinta, kasih sayang, pengorbanan, kesabaran, ketulusan, ketegaran, keteladan, kepercayaan, kejujuran dan keihlasan … harus kita ganti dengan apa ? jawaban sederhana adalah : dengan hal yang sama. Tiba-tiba aku meragukan diriku sendiri, meragukan bahwa aku mampu memberi seluas cinta, sebesar pengorbanan, cinta dan kesabaran orang tua kami. Aku ragu, tak percaya bahwa usaha kita berbakti bisa sebanding dengan apa yang telah mereka beri. Kepalaku makin pusing. Tiba-tiba kata “berbakti” menjadi utopia, rasa malu meluap menyesakkan dada. Ternyata kita bukan siapa-siapa. Saat hati yang lain bersyukur atas karunia orang tua yang sangat indah, hati yang lain mencelos, khawatir dan takut … mungkin tak pernah bisa sempurna usaha kita ‘membalas’ kebaikan orang tua kita.
“lalu apa balasan yang mendekati sama dalam berbakti pada orang tua ?”
“Surga”, jawab temanku singkat.

Dadaku tiba-tiba gemuruh. Hadiah apa yang lebih baik dari surga ? aku menangis. Surga, usaha yang luar biasa untuk mendapatkannya. Apalagi menghadiahkannya untuk orang tua kita, bukti cinta yang nyata.

Temanku tersenyum, aku juga tersenyum. Bukan saatnya menangisi ketidakberdayaan dan menyerah. Tapi bangkit dan berusaha, hadiah istimewa itu butuh perjuangan luar biasa agar kelak kita bisa menghadiahkannya untuk orang tua tercinta.
Dalam jauh dan dekat kita tetap bisa berbakti, selama kita tetap berusaha menjadi orang baik dan berbuat kebaikan. Berbakti dengan cara membuat mereka ridha dan dengan itu Allah menjadi Ridha pada kita, mengabulkan doa kita, terutama agar Allah menyempurnakan kebaikan untuk mereka, menjaga mereka.
Dalam jauh kita bisa berbakti. Menggunakan potensi diri (hasil didikan mereka) untuk sebanyak mungkin amal kebaikan dan memberi manfaat bagi sebanyak mungkin orang. Pahala kebaikan itu akan mengalir pada mereka. Menjadi hujjah mereka di hadapan Allah kelak. Bahwa mereka telah dengan sangat amanah, mendidik kita sebagai titipan-Nya.
Dalam jauh kita bisa berbakti. Membelanjakan harta titipan orang tua pada kita, untuk sebanyak mungkin kemaslahatan di jalan Allah. Bukan untuk berfoya-foya, tabdzir apalagi maksiat, pahala itu akan mengalir untuk mereka. Insyaallah.

Dalam jauh kita bisa berbakti, meneruskan kebaikan orang tua, menyambung silaturahim, menjaga nama baik dan kehormatan mereka, memuliakan keluarga. Mendoakan mereka dan orang-orang yang mereka cintai.
Kita bisa berbakti … jika kita mencari hidayah, Allah memberi kita hidayah. Membuat kita mengerti makna berbakti, menunjukkan jalan untuk berbakti …

Tiba-tiba aku jadi rindu …
dan kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya hingga tiga puluh bulan, sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya empat puluh tahun dia berdoa ”ya Tuhan-ku berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau Ridhai dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sungguh Aku bertaubat kepada Engkau, dan sungguh aku termasuk orang-orang yang muslim” (Al-Ahqaf 15)
(bunda ze, syukron atas percakapan yang begitu berkesan itu)

Selasa, 01 Juli 2008

Saat Menghadapi Pilihan Sulit


Allah sebenarnya tanpa kukatakan, Engkau tahu apa yang aku rasakan. Engkau Mengerti apa yang aku inginkan. Tapi aku tetap perlu berdoa, meminta, karena Engkau pernah berkata bahwa Engkau senang mendengar suara hambaMu saat memohon padaMu. Aku harus terus meminta padaMu ya Allah, agar kesombongan dalam diri tak semakin mengeras. Menegaskan diri bahwa aku hanya seorang hamba, Yang meski sering mencoba tak menangis, tapi Rapuh luar biasa.

Allah ... Engkau Tahu bahwa akan selalu ada kesulitan, jika Engkau tak memudahkan. Dan Tak ada kebahagian di Jiwa, Jika Engkau tak menganugerahkannya... Allah Yang Maha Mendengar ... Allah Yang Maha Tahu ... Allah Yang Maha Kuasa ... Engkau boleh memberikan ujian apapun padaKu karena Engkau memang punya Hak untuk itu. Tapi aku minta, Jadikan Aku Ridha ... hingga dalam keadaan sesulit apapun aku masih bisa terus berhusnudzon KepadaMu. Tak Sampai mengumpatMu, Tak sampai membenciMu, Tak sampai Menjauh dariMu. Engkau Maha Suci dari berbuat Dzolim dan Aniaya. Aku minta kepadamu kelapangdaan untuk ikhlas ... hingga samudranya membersihkan kotornya jiwaku dari prasangka. Sulit Ya Rabb, karena Itu aku minta padamu : Luaskan Jiwa dengan Ikhlas dan baiksangka.

Ya Allah ... katanya Dunia ini penuh warna: di sana bukan hanya ada orang baik, tapi juga jahat dan dengki, bukan hanya ada tawa tapi juga kepedihan dan kesakitan, keputusasaan dan makar durhaka. ya Allah, Katanya dunia itu luas, bulat dan selalu berputar ... maka aku takkan selalu di atas, tapi di bawah, di samping, tak hanya berpijak, terlempar kadang. Terhempas dan Jatuh. sunnatullah Gravitasi.

Kemanapun kaki ini akan melangkah, dengan siapapun aku berjalan, dan dalam situasi apapun aku berada ... aku minta padaMu : " jangan biarkan aku sendiri saja". jangan serahkan aku pada kebodohan dan Hawa Nafsu Jiwa. Aku ini tergesa-gesa, sering lupa, ceroboh dan bakhil. Allah Jika semua ruang dan waktu adalah milikMu, maka aku akan bersedia : berada di manapun, dalam kondisi apapun. Asal Masih dalam lindunganMu, masih dalam naungan CintaMu. Maka Ajari aku cara agar engkau sudi mencintaiku, terus bersamaku, tak meninggalkanKu. Ajari aku rela meninggalkan apa saja, siapa saja asal aku bisa dekat denganMu. Ajari aku berani bertemu dengan siapa saja, berbuat apa saja .... asal Engkau RIdha padaKu. Karena aku yakin keridhaanMu membawaku pada keluasan bahagia, kemahasemestaan cinta, keluarbiasaan bahagia.

Aku tahu, Engkau sedah mengabarkannya : Bahwa akulah yang paling bertanggung jawab terhadap diriku. bahwa aku yang akan menuai segala kebaikan dan keburukanku. Bahwa semua akan diganjar setimpal dengan apa yang telah dilakukan. Maka semestinya aku tak perlu menunggu inisiatif orang lain, kambing hitam, atau peran pengganti untuk lakonku sendiri. Aku tahu Ya Allah, tapi seringkali berat untuk melakukan apa yang sudah kita tahu. Pada banyak hal, aku seringkali merasa pengecut. Rapuh. lemah. Bimbang dan Mundur.

Karena itu Ya Rabb, kekuatan yang membolak-balikkan hati. aku minta KepadaMu. tetapkanlah hatiku dalam Iman yang selalu Hidup, kokoh dan Jujur. Berikan Aku kekuatan aqidah, kehusyukan dalam ibadah. ya Allah aku minta pada Mu ilmu, mengobati kebodohanku, meluruskan bengkoku, memandu jalanku. Aku minta padamu Furqon, kemampuan membedakan yang benar dan salah, keluar dari yang meragukan, kembali dari kesesatan pada HIdayah. Aku minta KepadaMu keberanian untuk memutuskan ,mengikuti kata hati yang benar. Aku minta KepadaMu diberi kesabaran dalam berjuang. Dibukakan jalan-jalan kemudahan. Dihujankan keberkahan. Aku minta KepadaMu keberanian mengakui kesalahan, kelapangan memafkan, kejujuran dalam bersyukur. Dekatkan aku pada apa yang membuat aku dekat KepadaMu. Jauhkan aku dari apa Yang membuat aku jauh dariMu. Aku minta padamu agar tidak dijadikan jenuh meminta.... aku minta agar dijadikan tak berhenti berusaha, hingga Engkau Ridha Aku menemuiMu dalam Husnul Khatimah.

Indahnya Bersyukur

Bersyukurlah karena kamu tidak memiliki semua yang diinginkan,

jika kamu memiliki semuanya,apalagi yang hendak dicari?

Bersyukurlah karena engkau tidak memiliki sesuatu,

sebab hal itu memberimu kesempatan tuk belajar

Bersyukurlah atas masa-masa sulit yang engkau hadapi,

karena selama itulah engkau menjadi dewasa

Bersyukurlah atas keterbatasan yang kau miliki,

karena itu memberimu kesempatan tuk memperbaiki diri

Bersyukurlah atas setiap tantangan baru,

karena hal itu membangun kekuatan dan karaktermu

Bersyukurlah atas kesalahan-kesalahan yang kau perbuat,

karena hal itu memberimu pelajaran yang sangat berharga

Bersyukurlah ketika engkau lelah dan tak berdaya,

karena berarti engkau telah membuat suatu perbedaan

Adalah mudah tuk bersyukur atas hal-hal yang baik

Adapun kehidupan yang bermakna adalah bagi mereka bersyukur atas kesulitan yang dihadapi

Rasa syukur bisa mengubah hal negatif menjadi positif

(anonymous)

Selasa, 27 Mei 2008

tak ada yang tumbuh dalam kebekuan

By : neen_Khaleeda


“kita tidak bisa melihat dalam kegelapan, karena itu terangilah hati dan pikiran. keluarlah dari belenggu dengki yang membuat suram duniamu…fokuskan pada nurani, dengarkan bening hati-niscaya kita akan melihat kebenaran”

“jangan pergi dalam keadaan kesal, karena hanya akan menambah keletihan jiwa, menggores luka yang makin perih.berhentilah sejenak…hirup nafas dalam-dalam.nikmatilah tiap detik nikmat yang Tuhan berikan.Semua masalah pasti ada solusinya.Kita hanya butuh jeda–mengurai kekalutan.kembali bergerak,menyambut mentari yang lebih cerah”

“tak ada yang tumbuh dalam kebekuan.maka keluarlah dari suhu minus, carilah lingkungan yang hangat.biarkan bijimu mengeluarkan tunas asa.hentikan pikiran pesimis.jangan jadi Tuhan untuk Takdir yang belum kau jalani.keluarlah dari kebekuan.dunia tak sesempit pikiran kita.lihatlah warnawarni kehidupan, ke atas….ke bawah…ke depan…ke belakang….ke samping….banyak yang harus disyukuri, banyak yang harus diperbaiki’

jangan menyerah pada ketakutan

N. Khaleeda M, S.Psi

pernah melihat keong, siput dan sejenisnya? coba perhatikan apa reaksi hewan lunak itu ketika kita pegang tubuhnya, atau ketika kita halangi jalannya? ya … mereka akan masuk bersembunyi di liang hangatnya.beberapa saat, sampai “ancaman” hilang … dan hewan kecil itu pun kembali berjalan.

mari belajar darinya … bagi saya hewan kecil itu memang tampak pengecut, penakut …. langsung berembunyi ketika ia menghadapi masalah. Tapi apakah ia lagi menghindar? tidak, itu adalah bentuk perjuangan hewan lemah itu dari ancaman. Setelah cukup mengumpulkan keberanian, hewan itu kembali bergerak. pelan tapi pasti.

Kita semua punya ketakutan. Kita semua punya kekhawatiran. takut gagal, takut kecewa, takut melangkah, takut miskin, khawatir jika lapar, khawatir jika sakit ….. wajar, semua ketakutan ini alamiah. Semua orang mengalaminya, maka hal ini pun tidak menjadi masalah …. sepanjang ketakutan ini tidak menghalangi kita untuk berbuat kebaikan. Tetapi ada kalanya kekhawatiran, ketakutan akan gambaran buruk tentang masa depan, gambaran berat tentang tantangan yang akan menghadang dari suatu rencana, menjadi sebuah barrier–penghalang gerak kita untuk berubah. tak jarang kita menyerah …. sudahlah, ini terlalu sulit. sudahlah, aku tak mungkin mencapainya ….begitu ungkapan pesimisme kita. Ungkapan yang tanpa sadar menjadi semacam rumah keong tanpa lubang …. semacam penjara. menghalangi kita bertumbuh …. keluar dari pikiran yang mengahantui …. dan kita pun menjelma kelemahan yang lebih kuat dari si keong.

ingatlah kata-kata si keong “hewan sepengecut aku saja …. masih berani melangkah, mengapa manusia yang lebih hebat dariku mudah menyerah?”

Berjalanlah lagi. tak masalah jika kita butuh jeda sejenak mengumpulkan keberanian. hirup nafas dalam, lipargandakan energi cinta dan kebaikan. tersenyum dan melangkahlah lagi. cara termudah dan paling tepat menghilangkan ketakutan, adalah berhadapan dengan ketakutan itu sendiri. yakinlah, kita bisa lebih baik ….

berjalanlah lagi, cobalah lagi ….. jangan menyerah, perjalanan kita belum selesai.

ada surga di rumah kita

Ada Surga di Rumah kita

neen_Khaleeda

[21.48 pm.230508]

“Aku ingin pulang … “ , barangkali kata ini sering kita ucapkan saat akhir bulan, ketika uang sudah kian menipis di tangan. Atau saat ujian sidang hampir tiba, saat ada masalah berat yang butuh dipecahkan bersama, atau sekedar kangen. Maka pulang lebih dari sekedar bertemu orang tua. Karena itu kadang, kita tak selalu butuh alasan rasional untuk pulang.

Pulang adalah melabuhkan rindu yang menggumpal di dada, mengurai sesak yang tertahan lama. Pulang adalah senyum yang bertemu mata. Lalu pecah jadi tangis. Kita menemui orang tua kita, telah bertambah keriput dan kian tak muda, setelah kita pulang untuk yang kesekian kalinya. Bahkan tanpa berkata apa-apa, pulang cukup menjadi pengobat hati. Melihat adik kita telah tumbuh begitu cepatnya.

Maka bagi saya, perjalanan pulang selalu seperti sebuah jelajah, mengumpulkan mozaik yang terserak di setapak ruang dan waktu. Ada banyak adegan yang muncul di sepanjang pohon-pohon yang berjejer. Berkata bahwa “ setiap kali melangkah ke depan, ada masa lalu yang kita tinggalkan, ada orang-orang yang menunggu kita’. “setiap kali melaju ke depan, kita sedang melangkah ke masa yang penuh misteri, ada orang lain yang menunggu kita”. Dan saat kita tiba di rumah, membuka pintu … memeluk dan mencium keluarga tercinta, dan mereka pun akan bertanya?”piye kabarmu nduk?”: Pertanyaan sederhana – yang sebenarnya dalam maknanya: telah menjadi orang seperti apa kita kini sekarang? Apa yang berubah dari diri kita? Lalu apa yang akan kita ceritakan tentang diri kita?

Rumah kita ….

A Home is not (only) a House.

Bayangkanlah pintu rumah kita. Sebentuk segiempat sederhana. Tapi cobalah kita lihat sekali lagi. Seandainya pintu segi empat itu bisa bercerita, maka kita akan mendapat laporan yang cukup lengkap tentang perubahan diri kita. Lihatlah sisi bagian belakangnya, sisi yang berada di dalam rumah. Saksi atas apa saja yang kita perbuat selama di dalam rumah. Saat kita menjadi ‘seseorang’. Lalu kita pun membuka engselnya, mendorongnya dan berkata ‘aku pergi’. Brakk.

Pintu itu menghempas tergesa-gesa. ‘seseorang’ tadi membantingnya terlalu keras, tanpa salam dan tergesa-gesa dan pergi sambil berlari. Pergi menjelajah banyak tempat, mengikuti banyak kejadian, bertemu banyak orang, merasakan biru, kuning, merah, hitamnya perasaan. Campur aduk. Satu menit, setengah jam, lima jam, kadang sampai matahari berganti bulan. Kita belum membuka lagi pintu itu. Buku yang kita baca, orang yang kita temui, aktivitas yang kita ikuti, kejadian yang kita tonton, berita yang kita dengar, cacian yang kita dapatkan, nasihat yang menyentuh hati, semua yang tak dilihat oleh pintu bagian dalam. Telah mewarnai ‘seseorang’ yang tadi, menjadi ‘orang lain’. Ada yang mewarnai hatinya, pikirannya, ada yang mewarnai emosinya, caranya merespon, sikapnya bahkan perbuatannya. Pintu bagian dalam tak tahu apa yang terjadi di luar rumah. Pintu itu juga sering tak tahu, bahwa dunia yang kita jumpai di luar rumah adalah dunia yang kian tak ramah, kian sesak, kian keras dan tak berperasaan. Dan orang yang keluar lewat pintu itu harus menghadapinya dari hari-ke hari. Pintu itu hanya tahu : bahwa ketika ‘seseorang’ yang membuka pintu bagian dalam tadi telah menjadi ‘orang yang berbeda’. Kadang ‘sesorang’ itu tertawa ketika pergi, menangis sembab ketika pulang. Begitu wangi saat membuka pintu untuk keluar, bau dan lesu saat membuka pintu untuk masuk. Tanpa pamit ketika pergi, santun bersalam dan tersenyum ketika pulang.

Ahh, coba lihatlah lagi sekeliling rumah kita. Ada banyak saksi atas kejadian yang seringkali secara tak sadar kita lupakan. Cat yang mengelupas, sarang laba-laba, kaca yang mulai suram : semua ingin berkata. Bahwa ada akumulasi waktu yang lama berlalu, dan kita ternyata tak pernah bisa hidup sendirian saja. Kita ternyata tak bisa hanya sibuk dengan diri kita sendiri saja. Bahwa selain diri kita, ada orang lain-ada sesuatu yang lain. Yang menunggu kita di rumah. Yang mengiringkan doanya saat kita pergi. Yang merapihkan rumah kita, membuat kita merasa nyaman saat pulang. Ada orang yang akan panik ketika mendapat telepon bahwa kita mengalami kecelakaan, orang-orang yang juga butuh perhatian dan tanggungjawab kita. Tapi kadang kita terlalu sibuk untuk memahami : Bahwa kita tak pernah sendiri.

Saat kita merasa sedang tak dirumah

Tiba-tiba saja kita membuat demarkasi yang begitu tegas : ini rumah, ini kos, ini wisma, ini hotel, ini terminal. Apa bedanya bangunan itu? Semuanya sama-sama tempat transit. Jangka waktu dan cara pembayarannya saja yang berbeda.Lalu apa yang memuat kita merasa ‘tidak betah’, merasa tidak ‘homey’meski di rumah kita sendiri? Jawabannya barangkali ada di kepala kita … persepsi kita tentang tempat tinggal kita sekarang. Penilaian yang membuat kita “tidak ikut merasa memiliki’ hingga kita pun merasa ‘tidak perlu bertanggungjawab’ atas apa-apa yang terjadi di dalamnya. Merasa tak perlu juga untuk peduli. Meski sampah menumpuk dan bau, lantai berdebu, lampu rusak. “toh kita sudah membayar, jadi biarkan orang lain yang mengurusnya”.Dan kita pun membatasi kehidupan kita dalam sekat-sekat tembok. Ini urusanku. Itu urusanmu. Maka kita pun kehilangan sensivitas. Saat penghuni lain sakit, lembur mengejar deadline TA, pulang larut, atau ketika kita mendengar tangis tertahan dari kamar sebelah …”urusanku sendiri sudah banyak, ngapain repot-repot ngurus orang lain?”. Maka meski kita telah (atau akan tinggal) setidak-tidaknya empat tahun di Tembalang ini, kita tidak pernah merasa ‘tinggal di rumah’. Kita numpang. Nge-kos. Ngontrak. Dan dalam pikiran kita: itu bukan rumah (home) saya. Maka ketika pikiran ini kian lama mengendam, saat yang sama sebenarnya, kita sedang dengan sadar : melakukan abrasi, pengikisan terhadap rasa kemanusiaan kita. Membangun lapaisan tebal di atas hati. Lama-lama mengeras. Dan kita kian jadi orang yang berbeda. Orang yang makin tak berperasaan.

Lagi-lagi, nilai rasa itu ada di kepala kita. Rasa rindu, perasaan betah, nyaman …. Bermula dari kepala kita. Persepsi yang akan membawa kita pada kesadaran, lalu komitmen, tanggungjawab, lalu cinta.

Lalu apakah tempat tinggal kita sekarang ini, telah menjadi rumah (home) bagi kita?

Maka ingatlah rumah kita …

Ada siapa saja di sana. Rumah yang membuat rindu. Rumah yang membuat kita memiliki energy baru saat berada di dalamnya. Bersemangat ketika pergi dari pintunya. Makin berilmu, makin baik. Ketika memasuki kemabali pintunya. Rumah yang bukan hanya menyediakan atap yang kokoh untuk berteduh dari hujan, tapi juga hati-hati yang lapang untuk menerima kita; sebagai manusia. Maka ingatlah kembali, bagian apa dari rumah itu yang membuat kita rindu.

Kasurnya, taman rindangnya, lantainya yang wangi, angin semilir yang mengalir dari jendelanya ….

Senyum penghuninya, perhatian tulus saat sakit, mata hangat saudara, bahu tuk menangis

Buku-buku yang mencerahkan, nasyid pagi yang menyemangati, ketukan lembut untuk qiyamulail, mading yang penuh nasihat , teguran yang indah saat lalai

Cucian yang telah terlipat rapi, meski baru sadar bahwa ternyata tadi sore hujan dan kita masih di jalan.

Lalu apa yang membuat rumah kita begitu ‘hidup dan menghidupkan’. Ternyata ….

Atapnya iman , Dindingnya ukhuwah , Tiang-tiangnya nasihat ,Lantainya fastabiqul khairat, jendelanya ilmu.

Itulah bahan baku rumah surga kita di dunia. Pertanyaannya adalah; sudahkan kita membangun rumah kita di atas bahan baku itu? Jika belum. Maka sekedar membayangkan hadirnya surga dunia itu saja, rasanya terlalu tinggi bagi kita. Karena realitas rumah kita adalah : sikap saling menyalahkan, iqob/hukuman yang tak mencerahkan, wajah-wajah sibuk dan lelah—yang telah lama lupa, bagaimana caranya tersenyum, apalagi berempati. Haha-hihi tak lagi membahagiakan, garing. Gossip yang tak pernah menyejukkan adalah irama rumah kita. Dan jika realitas rumah kita adalah kata-kata ini : jorok, berantakan, bau, kusam. Lalu bolehkan kita berharap, sekedar memikirkan ‘bahwa rumahku (bisa) menjadi surgaku?’. Maka pulang ke rumah, justru menjadi sesuatu yang paling kita hindari. Lalu dimana kah rumah surge itu? Siapakah penghuninya?

Siapa penghuni rumah surga itu?

Ternyata bukan para malaikat. Karena malaikat tak butuh berlindung dari hujan dan panas. Tak butuh kasur untuk tidur. Tak butuh teman untuk menangis. Penghuninya adalah manusia. Yang bukan hanya memiliki kebaikan, juga kekhilafan. Yang bukan hanya punya nurani, tapi juga punya nafsu. maka ketika beberapa manusia bertemu dalam suatu tempat, berinteraksi dalam waktu yang lama. Maka, dalam rumah itu : bukan hanya butuh tempat yang lapang untuk beraktivitas di dalamnya. Tempat yang cukup lapang tanpa sampah dan barang rongsokan. Tapi tempat yang juga lapang dengan keihlasan, luas dengan kesediaan memaafkan. Tempat yang punya ruang untuk menerima, bukan hanya kesempurnaan tapi juga ketidaksempurnaan para penghuninya.

Dan penghuninya adalah manusia

Yang tak pernah menjadi sempurna.Maka ketika beberapa manusia tinggal bersama dalam satu rumah. Selayaknya tak boleh mengharap para penghuninya sebagai orang yang telah jadi, Selesai, finish; sebagai orang-orang baik yang telah sempurna kebaikannya. Karena kita akan kecewa. Karena tak sempurna itulah, maka ada peluang yang sangat besar untuk saling belajar, menasihati, memberi teladan. Lalu secara timbal balik, bergantian mengambil hikmah. Meneladani. Memberi dan menerima. Karena itulah para penghuninya perlu saling mendengar, meningkatkan sensivitas lalu bicara dengan komunikasi yang baik. Maka rumah selayaknya menjadi sekolah. Tempat menimba ilmu, tempat mematangkan kepribadian. Meluaskan wawasan. Rumah selayaknya menjadi sekolah. Karena ada begitu banyak orang. Sebagai guru-sumber ilmu; bagi diri kita. Jika saja kita mau belajar dari mereka. Rumah adalah sekolah yang paling dekat dengan realita. Sekolah, dimana kita bisa menampilkan diri kita apa adanya. Tanpa topeng, tanpa persona. Rumah adalah markaz tarbiyah kita. Tempat dimana kita bukan hanya menghafal ilmu, menuliskannya di kertas ujian. Rumah adalah tempat kita menuliskan kebiasaan baru, membentuk sikap, mematangkan kepribadian, belajar menyelesaikan konflik, belajar berkorban, belajar ikhlas, belajar tawazun, belajar itsar … belajar menerjemahkan teori ke dalam realitas. Dan rumah adalah saksi peradaban. Saat pintu dibuka, setelah hari demi hari pematangan dilakukan dalam rumah. Para penghuninya membuka pintu, keluar : sebagai orang yang lebih baik. Yang siap melakukan perbaikan untuk umat. Subhanallah. Inilah rumah kita : Rahim para mujahid. Rahim para perindu surga …

Inilah rumah kita …Inilah surga kita. Dimana Bahagia dan kemajuan, bukan sekedar utopia. Tapi sebuah karya, yang sedang kita kerjakan bersama. Mari duduk bersama, saling menatap mata, biarkan hati bicara. Bukankah kita sudah begitu merindukan bahagia itu? Mari duduk bersama… agar bahagia itu, tak sekedar mimpi semata. Mari memulai, mari memelihara. Sekarang !

Selasa, 20 Mei 2008

kenalilah cintamu

Kenalilah cintamu

N.Khaleeda.M, S.Psi

Dalam suatu hadis diriwayatkan bahwa Ibnu Umar ra berjabat tangan dengan Rasulullah SAW, beliau (Rasulullah) bertanya mengapa ia berbuat demikian. Ibnu Umar menjawab “saya mencintai seseoang dan saya bermaksud mencarinya, namun saya tidak menemukannya”. Maka Rasulullah menjawab ;

“ Jika kamu mencintai seseorang maka tanyakanlah olehmu, namanya, nama Bapaknya, tempat tinggalnya, dan anggota keluarganya. Jika ia sakit jenguklah, dan jika ia sibuk (atau dalam perjalanan) hendaklah kamu bantu untuk menyelesaikan urusannya”

Love is chemistry. Anasir kimianya bisa bereaksi dan menimbulkan sebuah perubahan. Bukan hanya sekedar perubahan warna seperti kita mencelupkan kertas lakmus dalam larutan basa. Bisa juga ia mewujud jadi gelembung-gelembung, bau, zat baru, bahkan ledakan. Ya … kita perlu mengingat kembali teori dasar kekekalan energy :

“energy tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan, ia hanya bisa berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain”.

Transformasi energy adalah kata kuncinya. Maka kita tak pernah tahu bentuk cinta sejatinya, ada banyak perubahan yang mungkin terjadi. Jika menit yang lalu ia adalah zat padat, dua menit yang akan datang bisa jadi telah berganti jadi gas, sedang sebagian yang lain berganti menjadi zat cair. Cinta selalu bergerak mencari bentuknya. Maka mustahil memahami cinta sebagai sesuatu yang statis dan jumud. Tapi, setiap zat memiliki sifat asasinya sendiri. Sifat khas yang hanya dimilikinya dan membuatnya berbeda dengan zat lain, bahkan dalam golongan atau isotop yang sama. Perubahan suatu zat akan sangat tergantung zat lain yang direaksikan, atau situasi lingkungan yang menjadi tempat reaksi.

Maka kenalilah cintamu …

Para ilmuan bersepakat bahwa pada batas tertentu kita bisa memprediksi reaksi kimia yang bakal terjadi pada suatu zat , jika kita mereaksikan dua zat atau lebih. Syaratnya mudah : kita kenal dengan baik apa sifat zat tersebut.

Maka kenalilah cintamu …

Apakah ia sebentuk zat radioaktif, rentan, mudah bereaksi, (sebagian besar) jarang ditemukan, mahal pula.

Maka kenalilah cintamu …

Apakah ia sebentuk zat yang sulit bereaksi, kecuali dipicu dengan reaksi pendahuluan yang cukup lama. Stabil, butuh waktu lama dan bahkan katalisator tambahan untuk memicu reaksinya.

Maka kenalilah cintamu …

Proses mengenal yang kurang sempurna akan membuat reaksi kimia akan sangat lama terjadi, atau justru terlalu tergesa-gesa terwujud. Karena ternyata, kita tak tahu dengan benar, siapa kita … cinta kita.

Maka kenalilah cintamu ….

Salah mengenali, akan salah merencanakan strategi. Salah mengenali , berbuah akan membawa akibat yang fatal (bahkan mengancam jiwa) dalam sebuah reaksi.

Tak sesederhana reaksi kimia …

Manusia tak sesederhana sebuah reaksi kimia. Manusia lebih dari sekedar kumpulan atom dan unsur. Ada jiwa, ada raga (sebuah terminology yang sangat susah didefinisikan). Ada masa lalu yang bernama pengalaman, kenangan, ada masa kini yang bernama pembelajaran. Ada masa depan yang bernama harapan dan mimpi. Berbicara manusia, maka kita tak sekedar bicara aksi-reaksi. Karena antara masa lalu, hari ini dan masa depan tak selalu berikatan linier. Tarik-menarik. Tak tegas, siapa mempengaruhi apa.

Maka mengenali manusia, tak hanya mengenal ‘dirinya’ yang kita jumpai hari ini. Karena cinta yang kita temui hari ini adalah produk masa lalu dan harapan masa depan-(nya dan orang-orang penting di sekitarnya). Maka proses mengenal ini, akan membawa kita pada sebuah rentang waktu dan sejarah. Bahwa cinta yang kita temui hari ini, bukan sebuah realitas tunggal. Ia adalah sebuah resultan dari berbagai kejadian, berbagai pelaku dan aktor kehidupan, resultan dari berbagai keterpaksaan, pemberontakan, inisiatif dan serangkaian adegan jatuh bangun.

Lihat, dengarkan, rasakan …

Maka ada kacamata yang harus kita lepas (sementara waktu) dari kedua telinga kita. Letakkan sejenak di tempat yang aman.

Lalu biarkan kejernihan mata ‘basyirah’ kita melihat cinta lebih dekat dan jelas

Tanpa prasangka

Lalu, Memfungsikan kedua telinga kita untuk benar-benar mendengarKAN

Siagakan semua indra untuk bekerja dengan satu perintah : kenalilah cinta !

Karena otak perseptif kita, tanpa diminta akan segera memproses informasi itu. Membuat analisa. Dan menarik kesimpulan : siapakah sebenarnya cinta kita ini. Apa yang telah membuatnya ‘menjadi’ seperti sekarang ini, apa yang harus akau lakukan dengan sang cinta

Maka, proses mengenal yang benar akan menghasilkan sejumlah kekaguman dan simpati yang menginspirasi kebaikan

Maka proses mengenal yang benar dan tepat akan menghasilkan keihlasan menerima, cinta apa adanya. Kesediaan untuk memaafkan dan memberi kesempatan. Bahwa seorang manusia tidak selamanya menjadi actor perubahan bagi dirinya, seringkali manusia ;telah terpaksa’ menjadi korban dari berbagai situasi (yang dia sendiri bahkan tak pernah menginginkannya).

Proses mengenal yang benar akan membuat kita secara total menerima sang cinta, bukan hanya dengan segala kesempurnaanya … tapi juga dengan segala ketidaksempurnaannya.

Proses mengenal yang benar akan membuat kita mengenal sang cinta sebagai MANUSIA. Manusia yang kadang ingat, kadang lupa. Manusia yang tak hanya cerdas mengumpulkan pahala kebaikan, tapi juga sanggup mendepositokan maksiat dan dosa. Manusia yang tak hanya rasional, tapi juga emosional. Manusia yang tak selalu muda, tapi akan keriput dan tua. Manusia yang tak selamanya sehat dan bugar, tapi akan sakit dan mati. Meninggalkan yang mencintainya.

Maka proses mengenal dengan sempurna sesungguhnya, akan membawa kita pada pemahaman tentang relativitas cinta. Bahwa tak ada yang kekal dan sempurna. Selain yang menciptakan kekekalan dan kesempurnaan itu sendiri. Maka mengenali cinta, sebenarnya adalah proses belajar yang tak berujung. Proses yang telah berawal tapi tak tak pernah berakhir. Karena cinta … sejatinya, terus mencari bentuknya …. Cinta adalah proses saling menggenapkan, melengkapi, mengurai, men-delete, meng-insert, terus … saling menyempurnakan.